Minggu, 06 Desember 2009

Fisioterapi Pada Kondisi Asma

Asma merupakan gangguan pada sistem pernafasan yang diakibatkan oleh karena alergi. Kondisi ini menyebabkan peningkatan kepekaan oleh rangsangan. Banyak faktor yang menyebabkan (faktor pemicu) dari kondisi ini antara lain karena kelelahan, perubahan lingkungan (perubahan cuaca, kelembaban, asap, dll), infeksi saluran pernafasan seperti influenza, reaksi alergi, dll.
Gejala asma : seseorang yang terkena atau mempunyai bakat asma, jika terpapar faktor pemicu akan mempunyai gejala dari yang ringan sampai berat. Sering timbul pilek/bersin, sesak nafas, nafas berbunyi (dijumpai penimbunan mukosa), berkeringat dan denyut nadi meningkat. Keluhan ini sering terjadi pada malam hari menjelang pagi, kemudian terasa enak sekitar jam 9 pagi.
Komplikasi : Penyempitan saluran nafas yang terjadi sangat berbahaya. Hal ini terjadi karena penimbunan dahak. Dahak yang ada di saluran nafas sangat pekat dan susah untuk dikeluarkan.
Penatalaksanaan Fisioterapi :
1. Anamnesa :
Lakukan pemeriksaan dengan teliti, untuk mengetahui lokasi sputum, fase asma (akut/kronis), faktor resiko, dll.
2. Terapi
a. Inhalasi Terapi : tentukan jenis obat yang akan dipakai. Obat yang biasa digunaka adalah obat pelega pernafasan, pengencer dahak. Beberapa dokter juga merekomendasikan untuk diberikan obat anti-inflamasi. Yang perlu mendapat perhatian bagi seorang fisioterapi adalah tehnik pelaksanaan inhalasi. Termasuk dalam hal ini adalah jenis alat yang digunakan.
b. Diathermy (pemanasan). Pada pasien dengan kondisi asma, biasanya dijumpai sesak nafas. Hal ini mengakibatkan otot bantu pernafasan bekerja secara maximal. Pemanasan digunakan untuk memberikan efek relaksasi pada sistem skeletal, terutama daerah thrunk. Jenis diathermy yang digunakan adalah MWD atau IRR.
c. Massage. Massage sebenarnya merupakan terapi alternatif pada kondisi asma. Tujuan diberikannya massage ini lebih ke arah relaksasi otot bantu pernafasan.
d. Chest Fisioterapi. Pemberian chest fisioterapi harus memperhatikan tipe dari asma. Usia pasien dan posisi/letak sputum menentukan jenis chest terapi.
e. Edukasi. Edukasi di sini meliputi hal yang harus dihindari oleh pasien.
by : Alex

Derajat Kerusakan Saraf


1. Neuropraxia
Kerusakan jenis ini merupakan kerusakan saraf yang paling ringan. Axon dan sel myelin tidak mengalami kerusakan. Tidak terjadi degenerasi saraf. Akibat lebih lanjut kadang timbul paralisis sementara. Kerusakan pada tipe ini biasanya disebabkan oleh adanya tekanan yang bersifat sementara. Keluhan atau cidera saraf akan hilang seiring dengan hilangnya tekanan.
2. Axonotmesis
Pada kerusakan saraf jenis ini, terjadi kerusakan pada sistem axon. Selubung myelin masih utuh dan terjadi proses degenerasi.
3. Neurotmesis
Ini adalah tipe kerusakan pada sistem saraf yang paling berat. Terjadi kerusakan axon dan selubung myelin. Pada kondisi ini terjadi proses degenerasi.

DETEKSI DINI KELAINAN POSTUR TUBUH

Usia sekolah merupakan periode pertumbuhan dan perkembangan fisik yang cukup pesat. Selama proses pertumbuhan dan perkembangan fisik, anak-anak rentan untuk menderita cedera. Data Dinas Kesehatan (2009) melaporkan bahwa anak usia 5-14 tahun yang menderita sakit sekitar 23,8%, dimana 60%-nya menderita sakit cukup parah sehingga mengganggu aktivitas sekolah. Gangguan perkembangan dan pertumbuhan pada anak sekolah sangat bervariatif. Salah satunya adalah gangguan pada system otot dan tulang (musculoskeletal). Aktivitas anak di sekolah seperti cara duduk yang tidak benar, beban bawaan yang berlebih menjadi salah satu faktor pemicu terjadinya gangguan pada system otot dan tulang. Gangguan ini apabila dibiarkan lebih lanjut akan mengakibatkan terjadinya kelainan postur tubuh.
Kelainan postur memiliki dampak yang tidak kecil terhadap banyak aspek kehidupan manusia. Misalnya; adanya gangguan sistemik seperti gangguan pernafasan dan organ internal lainnya, menurunnya tingkat kepercayaan diri anak akibat adanya perubahan fisik secara kosmetik, gangguan keseimbangan, gangguan koordinasi dan ketangkasan gerak dalam aktivitas. Dampak lain dari ganggguan ini adalah munculnya gejala nyeri, cepat lelah, dan ketidaknyamanan dalam melakukan aktivitas sehari-hari yang akan mempengaruhi konsentrasi belajar baik disekolah maupun dirumah. Bahkan keluhan yang dirasakan saat dewasa (usia produktif) adalah manifestasi dari kelainan postur sejak kecil yang berkembang secara progresif.
Penanganan kelainan postur pada anak-anak selama ini kurang mendapat perhatian. Baik dari instansi kesehatan pemerintah, pendidikan bahkan orang tua. Selama ini perhatian penanganan kesehatan anak usia sekolah lebih difokuskan pada kebersihan perorangan dan lingkungan.

Dengan mengetahui gangguan postur pada anak usia sekolah, maka langkah-langkah penanganan secara preventif bahkan kuratif dan rehabilitatif dapat dilakukan dengan efektif. Diharapkan dengan kita dapat mengetahui kelainan postur, maka kita dapat mengurangi atau bahkan menghilangkan dampak dari gangguan postur.


Minggu, 29 November 2009

Problematik Fisioterapi Pada Sindrome Guillain-Barre

By : Arief Hendrawan, S.St.FT
Ketua Prodi D3 Fisioterapi STIKES Al-Irsyad Cilacap

Sindrome Guillain-Barre (SGB) dikenal juga dengan nama Landry's Syndrome. SGB adalah suatu polineurophaties yang bersifat ascending dan akut (acute inflamatory). SGB sering terjadi setelah satu sampai tiga minggu setelah infeksi. SGB ini kemungkinan disebabkan oleh virus sehingga menimbulkan respon hipersensitif yang pada akhirnya menyebabkan demyelinisasi jalur lower motor neurons.
Pada SBG dijumpai tanda klinis berupa dijumpainya paralisis flacid. Kerusakan dapat terjadi pada saraf perifer, radiks dan nervus cranialis.
Etiologi :
SGB ditandai dengan serangan yang cepat. SGB merupakan suatu penyakit autoimun, dimana proses imunologis tersebut langsung mengenai sistem saraf perifer. (Priguna Sidharta, 2000). Pada umumnya sindrom ini sering didahului oleh influenza atau infeksi saluran nafas bagian atas atau saluran pencernaan. Sindrom ini dapat pula didahului oleh vaksinasi, infeksi bakteri, gangguan endokrin, tindakan operasi, anastesi dan sebagainya.
Gejala Klinik :
Gejala klinik pada SGB antara lain : timbul suatu kelumpuhan yang bersifat akut, hilangnya reflek tendon, didahului parestesi dua atau tiga minggu setelah mengalami demam disertai disasosiasi sitoalbumin pada liquor dan gangguan sensorik/motorik. Pada beberapa kasus mengenai nervus cranial 7,9 dan 10. Hal ini dapat mengakibatkan penderitaa mengalami kesulitan dalam berbicara, menelan dan bernafas. Jika kondisi ini (virus) mengenai medulla spinalis maka pasien akan mengalami kegagalan pernafasan.
Recovery pada kasus SGB terjadi tiga sampai delapan bulan.
Problematika Fisioterapi :
Terjadi kelemahan secara ascenden dan simetris, kelemahan otot proximal terlebih dahulu terjadi daripada distal, kelemahan otot dada, bulbar dan pernafasan. Kelemahan yang terjadi bersifat akut dan progresif, bisa ringan sampai tetraplegi dan gangguan nafas. Gangguan sensoris ringan (parastesia, disestesia dan perasaan baal pada ujung-ujung jari kaki yang dapat menyebar ke arah proximal), nyeri punggung dan tungkai, retensio urin dan ileus paralitik, gangguan pernafasan, kelemahan N.Cranialis 3,5,6,7,9,10, terjadi hiporefleksia, terjadi kelemahan ekstremitas bawah ascenden asimetris uppper ekstremitas serta facial.

Minggu, 07 Juni 2009

Physiotherapy's Day


Sebagai salah satu bentuk kepedulian fisioterapi di masyarakat, bulan kemarin nich, prodi fisioterapi Stikes Al-Irsyad Cilacap mengadakan penyuluhan tentang kesehatan remaja dalam hal ini tentu saja yang berhubungan dengan fisioterapi donk.Acara ini dilaksanakan di SMA N 1 Banjarnegara. Kegiatan ini mendapat respon yang cukup baik dari siswa terbukti dengan banyaknya siswa yang mengikuti kegiatan tersebut. Rencananya kegiatan serupa akan dilaksanakan di beberapa SMA se-wilayah Barlingmascakeb. So.... tunggu aja kami di sekolahmu....Report :@ndhika

Myofascial Pain Syndrome

“Diagnosa Yang Sering Terlupakan”

Abstraksi
Sigh of pain in bone is often said by patient. Pain has been defined as an “unpleasant sensory and emotional experience associated with actual or potential tissue damage, or described in term of such damage. Disease which often misdiagnosa is Myofascial Pain Syndrome. Myofascial pain syndrome marked with the existence of trigger point.
Keyword : Pain, Myofascial, Trigger Point
A. PENDAHULUAN
Setiap orang pernah merasakan yang namanya nyeri, baik dalam skala ringan maupun dalam skala berat. Timbunya rasa nyeri menjadi suatu pertanda bahwa sedang terjadi suatu ketidak- beresan dalam system tubuh kita.
Keluhan tentang nyeri merupakan keluhan yang paling sering diutarakan oleh pasien. Tidak jarang pasien harus mengeluarkan biaya banyak untuk menjalani pemeriksaan diagnosa seperti MRI, CT Scan, EMG. Bahkan setelah itu pasien harus menjalani pengobatan dengan pemberian obat pereda nyeri atau OAINS. Kondisi ini juga kadang diperparah karena ketidaktepatan fisioterapi dalam menegakkan diagnosa fisioterapi sehingga terjadi kekurangtepatan dalam pemilihan modalitas terapi.
Salah satu penyakit yang paling sering di misdiagnosa baik oleh dokter (tidak cuma di Indonesia tetapi juga di Singapura, Malaysia dan Amerika) adalah Myofascial Pain Syndrome. Di Amerika (karena data di Indonesia belum ada), diagnose Myofascial Pain Syndrome ditemukan hampir 75% di klinik nyeri dan biasanya pasien harus menemui empat dokter spesialis untuk keluhan tersebut. (Anonim, 2008. http://www.kliniknyeriintegratif.blogspot.com/ )
Sebelum kita membahas lebih lanjut tentang Myofascial Pain Syndrome, ada baiknya kita terlebih dahulu mengenal tentang nyeri, fisiologi nyeri dan respon fisik terhadap nyeri.
B. NYERI
1. Pengertian Nyeri
Menurut International Association for The Study of Pain (1979), nyeri adalah pengalaman sensorik dan emosional yang tidak nyaman, yang berkaitan dengan kerusakan jaringan atau berpotensi terjadi kerusakan jaringan atau menggambarkan adanya kerusakan jaringan. Sedangkan menurut Kozier dan Erb (1983), nyeri adalah sensasi ketidaknyamanan yang dimanifestasikan sebagai penderitaan yang diakibatkan oleh persepsi jiwa yang nyata, ancaman dan fantasi luka. Dengan demikian didapat suatu pengertian bahwa nyeri adalah perasaan majemuk yang bersifat subyektif, yang disertai perasaan tidak enak, rasa tertekan, pegal, ngilu dan sebagainya.
2. Fisiologi Nyeri
Adanya stimulasi atau trauma baik dari dalam maupun dari luar system neuromuscular dapat mengakibatkan terangsangnya nosiseptor pada saraf perifer diatas nilai ambang rangsang yang diteruskan ke korteks serebri kemudian diterjemahkan ke dalam bentuk nyeri dengan bentuk dan kualitas rangsangan yang berbeda. Nosiseptor atau reseptor nyeri adalah organ tubuh yang berfungsi untuk menerima rangsang nyeri. Berdasarkan letaknya nosiseptor dibedakan menjadi tiga macam yaitu nosiseptor kutaneus (pada kulit), nosiseptor somatic dalam dan nosiseptor visceral.
a. Nosiseptor
Nosiseptor kutaneus berasal dari kulit dan subkutan. Nyeri yang berasal dari daerah ini biasanya mudah untuk dilokalisasi dan didefinisikan. Reseptor jaringan kulit terbagi menjadi dua komponen, yaitu :

1). Serabut A delta
Merupakan serabut komponen cepat (kecepatan transmisi 6 – 30 m/det) yang memungkinkan timbulnya nyeri tajam, yang akan cepat hilang apabila penyebab nyeri dihilangkan.
2). Serabit C
Merupakan serabut komponen lambat (kecepatan transmisi 0,5 – 2 m/det) yang terdapat di daerah yang lebih dalam, nyeri biasanya bersifat tumpul dan sulit dilokalisasi.
Nosiseptor somatic meliputi nosiseptor yang berada pada tulang, pembuluh darah, saraf, otot dan jaringan penyangga lainnya. Karena struktur reseptornya kompleks maka nyeri yang ditimbulkan merupakan nyeri tumpul dan sukar dilokalisasi.
Nosiseptor visceral meliputi nosiseptor pada organ-organ visceral seperti jantung, hati, ginjal, usus, dan sebagainya. Nyeri yang ditimbulkan biasanya terus menerus (difus). Nyeri ini biasanya tidak sensitive terhadap pemotongan organ tetapi sangat sensitif terhadap penekanan, inflamasi dan ischemic. Nyeri visceral dapat menyebabkan terjadinya nyeri rujukan (reffered pain) yaitu nyeri yang timbul pada daerah yang jauh/berbeda dari organ asal stimulus nyeri tersebut.
b. Transmisi Nyeri
Dalam proses transmisi nyeri terdapat berbagai macam teori. Teori yang paling banyak digunakan dan cukup menjelaskan tentang mekanisme terjadinya nyeri adalah teori yang dikemukakan oleh Melzack & Wall (1959) yang lebih dikenal dengan Gate Control Theory.
Secara umum, antara kerusakan jaringan sebagai sumber stimulasi nyeri sampai dirasakan sebagai persepsi nyeri terdapat suatu rangkaian proses elektrofisiologi yang secara kolektif disebut nociception. Ada empat proses yang terjadi pada suatu nociception yaitu :
1) Proses tranduksi (transduction), merupakan proses dimana suatu stimulasi nyeri diubah menjadi aktifitas listrik yang akan diterima oleh ujung-ujung saraf (nerve ending). Stimulus ini dapat berupa stimulasi fisik mekanis (tekanan), termal (panas, dingin), kimiawi (substansi nyeri).
2) Proses transmisi (transmission), yaitu penyaluran impuls melalui saraf sensoris menyusul proses tranduksi. Impuls ini akan disalurkan oleh serabut saraf A delta dan serabut saraf C sebagai neuron pertama, dari perifer ke medulla spinalis dimana impuls tersebut mengalami modulasi sebelum diteruskan ke thalamus oleh traktus spinotalamicus sebagai neuron kedua. Dari talamus selanjutnya impuls disalurkan ke daerah somatosensorik di korteks serebri melalui neuron ketiga dimana impuls tersebut diterjemahkan dan dirasakan sebagai persepsi nyeri.
3) Proses modulasi (modulation), adalah proses dimana terjadi interaksi antara system analgesic endogen yang dihasilkan oleh tubuh dengan input nyeri yang masuk ke kornu posterior medulla spinalis. Sistem analgesic endogen ini meliputi enkefalin, endorphin, serotonin dan noradrenalin memiliki efek yang mampu menekan impuls nyeri pada kornu posterior medulla spinalis, Kornu posterior ini dapat diibaratkan sebagai pintu yang dapat tertutup dan terbuka untuk menyalurkan impuls nyeri. Proses tertutup dan terbukanya pintu nyeri tersebut diperankan oleh system analgesic endogen tersebut.
4) Persepsi (perception), adalah hasil akhir dari proses interaksi yang komplek yang dimulai dari proses tranduksi, transmisi, modulasi yang pada gilirannya menghasilkan suatu perasaan yang subyektif yang dikenal dengan persepsi nyeri.
c. Respon Fisik Terhadap Nyeri
Ketika impuls nyeri ditransmisikan oleh medulla spinalis menuju batang otak dan talamus maka akan timbul respon fisik dan stimulasi pada system saraf autonom. Pada nyeri skala ringan sampai sedang tubuh bereaksi dengan membangkitkan rangsangan pada system saraf simpatis, sedangkan pada nyeri berat, nyeri organ visceral akan mengakibatkan stimulasi terhadap system saraf parasimpatis.

Tabel Respon Fisik Terhadap Nyeri
Reaksi Efek
Simpatis
Dilatasi lumen bronkus, peningkatan frekuensi nafas
Denyut jantung meningkat

Vasokontriksi Perifer



Peningkatan glukosa darah

Tegangan otot meningkat
Memungkinkan penyediaan oksigen yang lebih banyak
Memungkinkan transport oksigen lebih besar ke dalam jaringan tubuh (sel)
Meningkatkan tekanan darah dengan memindahkan suplay darah dari perifer ke organ visceral, otot dan otak
Memungkinkan penyediaan energi tambahan bagi tubuh
Menyiapkan otot untuk mengadakan aksi
Parasimpatis
Pucat

Kelelahan otot
Tekanan darah dan nadi menurun
Frekuensi nafas cepat, tak teratur
Disebabkan supplay darah yang menjauhi perifer
Karena kelemahan
Pengaruh stimulasi nervus vagus
Karena mekanisme pertahanan yang gagal untuk memperpanjang perlawanan tubuh terhadap nyeri



C. MYOFASCIAL PAIN SYNDROME
Nyeri myofascial adalah titik-titik yang hiper-iritasi, memiliki ciri khas tersendiri, terasa bunyi bila ditekan, yang terletak pada taut band otot skeletal. Nyeri myofascial dicirikan dengan adanya trigger point atau titik cetus. Titik cetus ini sangat nyeri bila ditekan dan dapat menghasilkan nyeri rujukan (reffered pain), disfungsi motorik dan fenomena autonom (keringat yang kurang di daerah yang nyeri). Trigger point yang menghasilkan reffered pain kadang tidak berhubungan dengan penjalaran saraf.
Penyebab dari nyeri myofascial dibagi menjadi dua yaitu mekanik dan ergonomic. Penyebab mekanik yang dimaksudkan disini adalah terjadinya trauma akut atau repetitive mikrotrauma. Trauma ini biasanya disebabkan karena postur tubuh yang jelek (scoliosis, lordosis, kyposcoliosis), defisiensi vitamin, gangguan tidur dan problem pada sendi. Sedangkan penyebab secara ergonomic misalnya posisi tidur yang jelek, posisi kerja yang buruk, sering memakai sepatu dengan hak tinggi, dan sebagainya.
Gejala dari nyeri myofascial biasanya muncul di sekujur tubuh dari kepala sampai kaki. Di daerah kepala, nyeri ini sering mengakibatkan terjadinya nyeri kepala, migraine, leher tegang, vertigo, nyeri bahu sampai tangan (yang sering disalahartikan dengan asam urat). Di daerah punggung, nyeri ini sering mengakibatkan terjadinya nyeri pinggang (Low Back Pain/LBP), nyeri menjalar sampai kaki, dan sebagainya.

Gambar Letak Trigger Point www.trisoma.com/webimg/Fig409BackMusclesTrP.jpg diambil tanggal 30 Januari 2009
Otot adalah organ penggerak aktif. Otot potensial sekali untuk terjadi trigger point. Trigger point sering terjadi pada otot-otot yang berperan mempertahankan postur tubuh, seperti otot-otot leher, bahu, lumbal, pelvic girdle. Adanya buldel yang hipersensitif atau nodul pada serabut otot yang lebih keras dari konsistensi normal maka secara khas berkaitan dengan trigger point.


Sumber : www.triggerpointbook.com/triggerp.htm.
Tanggal Pengambilan 30 Januari 2009

Palpasi pada trigger point dapat menimbulkan nyeri secara langsung diatas area yang terkena dan/atau menyebabkan radiasi nyeri kearah zona referensi dan timbul respon local twitch (kejang local). Nyeri myofascial dapat dirasakan dengan mudah jika otot tersebut diregang sekitar 2/3 dari panjang maksimal.
Menurut John Halford, terdapat tiga jenis trigger point yang berkembang dalam otot, ligament dan kapsul sendi, yaitu :
1. Inactive trigger point : kondisi ini seperti gunung berapi yang tidak lagi aktif
2. Latent trigger point : kondisi ini seperti gunung berapi yang bergemuruh
3. Active trigger point : kondisi ini seperti gunung berapi yang aktif dan bergemuruh
Active trigger point dapat menyebabkan terjadinya nyeri pada saat istirahat, saat dipalpasi timbul nyeri tekan dengan pola reffered pain yang sama dengan keluhan nyeri pasien. Trigger point berbeda dengan tender point (titik nyeri pada kasus fibromyalgia).
Tabel Perbedaan Trigger Point dan Tender Point
Trigger Point Tender Point
Nyeri tekan local, taut band, twitch (kejang otot), jump sign Nyeri tekan local
Singular atau multiple Multiple
Dapat terjadi pada otot skeletal Terjadi pada lokasi spesifik yang letaknya simetris
Dapat menyebabkan reffered pain yang spesifik, pola reffered pain Tidak menyebabkan reffered pain, tetapi sering menimbulkan sensitifitas yang berlebih di seluruh tubuh
Sumber : http://backandneck.about.com/od/chronicpainconditions/f/myofascialfibro.htm
Diambil tanggal 29 Januari 2009

D. PROBLEMATIKA MYOFASCIAL PAIN SYNDROME
Telah sedikit disinggung di atas bahwa myofascial pain syndrome dapat menimbulkan rasa nyeri. Pada active trigger point dapat menyebabkan terjadinya nyeri pada saat istirahat, nyeri tekan dengan pola reffered pain. Pada latent trigger point tidak menyebabkan nyeri spontan tetapi dapat membatasi gerakan atau menyebabkan kelemahan otot. Pasien yang mengalami keterbatasan atau kelemahan otot dapat berasal dari latent trigger point yang hanya ditemukan jika ditekan secara langsung pada titik tersebut. Kadang juga ditemukan adanya respon local twitch. Hal ini karena serabut otot yang tegang (taut band) pada trigger point tersebut akan berkontraksi saat tekanan diaplikasikan.

E. TINDAKAN TERAPI
Terapi pada kondisi myofascial pain syndrome dapat dipilahkan menjadi terapi farmakologik dan nonfarmakologik. Pada terapi farmakologi biasanya dokter akan memberikan obat pereda nyeri atau OAINS. Sedangkan pada terapi non farmakologi dapat dilakukan pemberian terapi oleh fisioterapi atau akupunktur.
Program terapi yang dapat diberikan oleh fisioterapis bermacam-macam, yang paling penting adalah menentukan dimana lokasi dari trigger point berada. Setelah ditemukan lokasi trigger point baru kemudian diberikan modalitas terapi misalnya diberikan stimulasi elektrik dengan menggunakan TENS (Transcutaneous Electricalstimulation of Nerve System) pada trigger point, pemberian massage therapy, manipulative peripheal (stretch muscle), diathermy, dan sebagainya.

F. KESIMPULAN
Adanya mikrotrauma pada jaringan otot akan menimbulkan inflamasi yang kemudian pada tahap lanjut terjadi pembekuan jaringan collagen dan perlengketan diantara serabut collagen. Keadaan ini jika berlangsung lama dapat terjadi tightness (munculnya taut band pada serabut otot), pemendekan otot dan nyeri otot yang bersifat kronik sehingga menimbulkan kondisi yang biasa disebut dengan myofascial pain. Pada myofascial pain terjadi myofibril spasme, kontraktur jaringan ikat otot (perimyesium, epimyesium dan endomyesium) dan perlengketan jaringan ikat otot dengan myofibril. Akibatnya, fleksibilitas otot menjadi hilang atau berkurang sehingga terjadi keterbatasan lingkup gerak sendi.
Sering terjadi misdiagnosa untuk kondisi myofascial pain syndrome ini. Oleh karena itu dibutuhkan pemeriksaan yang teliti agar didapatkan hasil terapi yang maksimal.

G. DAFTAR PUSTAKA

Anonim, http://klinik-online.blogspot.com/2008_11_01_archive.html

Anonim, http://backandneck.about.com/od/chronicpainconditions/f/myofascialfibro.htm

Anonim, www.triggerpointbook.com/triggerp.htm.

Anonim, Trigger Point www.trisoma.com/webimg/Fig409BackMusclesTrP.jpg

Carolyn Kisner, Lynn Allen Colby, Therapeutic Exercise Foundation And Thecniques, Third Edition, F.A Davis Company, Philadelphia, 1996

David J.Alvarez, Pamela G.Rockwell, Trigger Point : Diagnosis and Management (www.org/alp/20020215,html : University of Michigan Medical School,2002),h.1

Heru Purbo Kuntono, Nyeri Muskuloskeletal, Makalah Disampaikan Pada Pelatihan Neural Nobilization Extremity Inferior, Surakarta, 24 Januari 2009

John Halford, Myofascial Pain Trigger Points Nerve Root Pain Satellite Trigger Points (www.positivehealth.com/permit/article/bodywork/halfd16.htm: Hamspshire,2002),h.2

Julia, van Deusen, Denis Brunt, Assesment in Occupational Therapy and Physical Therapy, W.B. Saunders Company, Philadelphia, 1997

Ns. Anas Tamsuri,S.Kep, Seri Kebutuhan Dasar Manusia Konsep dan Penatalaksanaan Nyeri, EGC,Jakarta, 2007

Senin, 27 April 2009

Fisioterapi Craniocerebral Injury


by:Alex
Craniocerebral injuries atau cidera pada kepala dapat terjadi karena dua kejadian.
Kejadian yang pertama yaitu kepala diam. Artinya trauma terjadi mengenai kepala pada saat kepala tidak bergerak.Kejadian yang kedua yaitu kepala bergerak. Artinya trauma terjadi pada kepala dimana kepala mengenai obyek yang relatif diam/tidak bergerak dan datang dengan cepat.
Kejadian I (Kepala Diam) : Cidera kepala pada kejadian I ini jarang terjadi. Contoh : luka terkena peluru/tikaman pada kepala.Jika terjadi fraktur maka dapat menyebabkan penguluran dan penekanan saraf cranial dengan karakteristik adanya kelumpuhan dan demikian juga pada pembuluh darah dapat menimbulkan komplikasi pendarahan pada extradural.Fragmen tulang mengalami depresi dengan luka goresan pada dura dan di dasar otak. Trauma yang kecil dengan kekuatan besar menimbulkan penetrasi rongga cranial membawa infeksi dan menyebabkan kerusakan otak yang extensive
Kejadian II (Kepala Bergerak):Benturan pada kepala yang mendadak dapat menyebabkan : (a) compresi distorsi dari tengkorak yang maximal pada satu sisi (b) segera soft brain berlawanan dengan promontorium bawah tengkorak yang tak beraturan, yang menyebabkan confusi atau pendarahan pada regio tersebut
Fraktur hampir berdekatan dengan letak injury atau disebabkan karena distorsi, beberapa jarak dari letak injury tersebut.
Catatan Penting:Fraktur otak berbeda dengan fraktur pada tulang yang lain. Karena pada tulang tengkorak terdapat jaringan spongiosa (jaringan lunak) sedangkan jaringan yang lain terdiri dari jaringan yang keras. Pada tulang terngkorak terdapat rongga-rongga.
Mekanisme saat terjadi cidera kepala :
Kelumpuhan total pada fungsi otak. Menyebabkan tidak berfungsinya fungsi-fungsi otak yang vital.Nadi dan pernafasan telah berhenti sejenak tetapi kemudian kembali lagi. Pada saat ini terjadi flacid paralysis dan berhentinya gerakan reflek.Fungsi reflek kembali normal, pasien dapat menjawab perintah.Gerakan disadari/voluntary dan kemampuan berbicara dapat kembali tanpa kontrol. Pasien dalam keadaan bingung gelisah dan kadang bengis. Akhirnya pasien tenang namun dalam keadaan kebingungan terus menerus.Automatism. Pasien akan menjawab pertanyaan-pertanyaan sederhana dan melakukan gerakan-gerakan biasa dalam hasil perintah yang efektif ia masih pusing dan sadar akan lingkungan secara tidak sempurna. Mengembalikan fungsi otak dimulai dari tingkat terendah, fungsi tinggi diperoleh pada tingkat terakhir
Proses memperoleh kesadaran dari lambat atau cepat adalah selalu setahap demi setahap.
Perawatan Fisioterapi
1.Breathing exercise, clapping, shaking dan rib-springing dan suction penting diberikan dalam bagian pada komplikasi respirasi. Ketika bahaya masa akut terlampaui, breathing exercise masih penting dilakukan untuk melihat pernafasan pasien pada tiap-tiap perawatan.
2. Passieve movement dilakukan dua kali sehari untuk melancarkan sirkulasi dan diajarkan untuk melakukan gerakan full range dalam tiap-tiap kesempatan.
3. Positioning untuk mencegah terjadinya kontraktur. Jika mulai timbul spasme lebih baik diberikan wet cold

Minggu, 26 April 2009

Bedah Cranial (Cranial Surgery)

KONDISI YANG DAPAT DITANGANI DENGAN BEDAH CRANIAL :
1. Trauma cerebri karena head injury
2. Craniovascular disease :
a. Haemorage (pendarahan) karena aneurisma intracranial atau anomali arteri dan vena intracranial.b.Lesi Ischemik : stenosis arteria carotis
3. Infeksi cerebri yang menimbulkan abses
4. Lesi neoplasma seperti :a.Tumor cerebri,b.Tumor cereberal,c.Neurinoma acoustic
5. Diskinesia/parkinsonisme/gangguan gerak akibat perlengketan sisa peradangan otak
6. Hidrocephalus
7. Epilepsi atau kejang

Perawatan Post Operasi
Setelah operasi kepala pasien dibalut dengan elasstic bandage, termasuk mata pada sisi yang berhubungan dengan sisi yang dioperasi, untuk mencegah dan mengontrol odema post operasi. Infus intravenous diberikan sampai hari pertama post operasi.
Hindarkan kegelisahan dan kebingungan pasien juga kemungkinan pasien membuka balutan kepala karena hal ini memungkinkan terjadinya infeksi kepala (meningitis)


Komplikasi

1. LCS bocor setelah operasi maka dibutuhkan operasi lebih lanjut
2. Odema post operasi (terjadi trombosis atau perdarahan pada pembuluh darah otak)
3. Trombosis pada tempat lain dan emboli paru
4. Kejang/epilepsi
5. Komplikasi respirasi
Odema post operasi dapat menekan pusat pernafasan dari N.Vagus di medulla oblongata. Hal tersebut mengakibatkan perubahan frekuensi pernafasan, hilangnya reflek batuk dan kemungkinan hilangnya kemampuan menelan. Ini merupakan bahaya aspirasi mukus dan muntah.Sampai kembalinya kemampuan menelan pasien dapat diberi makan buatan lewat selang.Postural drainage merupakan kontraindikasi sehingga menyulitkan komplikasi chest FT.Posisi pasien yang menetap dalam posisi tertentu akan mempengaruhi tekanan darah. Untuk mengatasi hal ini kepala dapat dinaikkan 10 derajat guna meningkatkan tekanan darah.Deep breathing harus dilakukan pada level dada bagian depan dan samping.
Suction : dilakukan untuk membuang sekret/lendir jika tingkat kesadaran pasien menurun atau pasien tidak dapat batuk secara aktif. Suction sebaiknya dilakukan oleh dua orang. Satu orang melakukan suction dan satu orang membantu pasien bernafas dan batuk. Shacking, clapping dan rib springging (hentakan iga) membantu membebaskan secret.
Tracheostomy : dilakukan jika terjadi retensi CO2 akibat kesulitan pernafasan atau kebebasan jalan nafas tidak bisa dipertahankan oleh karena adanya hipersekresi akibat gangguan midbrain.

Perawatan Fisioterapi Secara Umum (sesuai dengan tujuan):
Tujuan :
1.Mencegah Komplikasi Pernafasan
2.Mempertahankan sirkulasi
3.Membuat assesmen yang tepat

Tanda Dan Gejala Kelainan Otak

by : Alex
Tanda utama adalah meningkatnya tekanan intra cranial. Tekanan intra cranial otak tergantung volume otak. Pada anak dibawah umur 18 bulan bertambah meningkatnya volume akan menimbulkan bertambahnya ukuran kepala. Sedangkan pada individu (lebih dari 718 bulan) tidak ada peningkatan ukuran kepala. Jika ada peningkatan ukuran kepala akan mengakibatkan kerusakan fungsi otak
Meningkatnya volume otak dapat disebabkan karena tumor, abses, tersumbatnya saluran cerebrospinal

Tanda Meningkatnya Tekanan Intracranial

Adanya peningkatan tekanan dalam cranial mengakibatkan dinding vena yang lembut di otak akan tertekan sehingga hal ini mengakibatkan berkurangnya pasokan oksigen yang harus diterima jaringan otak
Tanda-tanda yang ditemukan :
1.Pusing
Tensi abnormal dari pembuluh darah otak pada tahap awal biasanya terjadi. Paroxsymal yang terjadi pada malam hari dan pagi hari. Tahap selanjutnya akan terjadi nyeri kepala. Nyeri bertambah saat tidur telentang dan berkurang saat duduk/berdiri
2.Papil Odema
Odema/bengkak pada discus opticus menyebabkan meluasnya daerah kebutaan yang menyebabkan kelainan penglihatan dan bila berat mengakibatkan kebutaan.
3.Vomiting (muntah)
Terjadi karena pusing yang cukup berat
4.Pulse Rate
Baik pada kondisi akut maupun sub akut meningkatnya tekanan intracranial menyebabkan pulse rate lebih lambat. Tetapi bila tekanan intracranial berkepanjangan maka pulse rate lebih cepat.Meningkatnya tekanan intracranial yang cepat akan menaikkan tekanan darah, tetapi apabila terjadi kronis maka tidak ada penyebabnya.
5.Respiratory Rate
Hal ini tidak disebabkan meningkatnya tekanan intracranial, tetapi oleh karena kecepatan peningkatan tekanan intracranial itu menyebabkan hilangnya kesadaran dan mengakibatkan pernafasan dalam yang lambat.
6.Mental Symtom
Kelainan ini terjadi dengan bermacam variasi mulai dari kebingungan, setengah sadar sampai tingkat tidak sadar

Rabu, 22 April 2009

Fungsi Lobus Cerebrum dan Efek Dari Lesi

CEREBRUM
Adalah bagian terbesar dari otak yang terdiri dari dua bagian (hemispherium dextra dan hemispherium sinistra) dan berhubungan dengan bundel-bundel saraf (corpus collosum). Masing-masing hemispherium terbagi menjadi empat lobus yaitu lobus frontalis, lobus parietalis, lobus temporalis dan lobus occipitalis). Hemispherium dextra mengontrol sisi tubuh sebelah kiri, begitu juga sebaliknya.
Lobus Frontalis :
Area A (Area Motoris) yang memberi kenaikan ke tractus cerebro spinalis. Fungsinya mengontrol gerakan volunteer ½ samping yang berlawanan dari satu tubuh dengan mewakili pada cortex dalam posisi upside down (terbalik). Efek dari lesi adalah placid paralisis lesi diantara hemispherium menghasilkan paraplegi.
Area B (Pre Motor Area). Fungsinya melokalisasi fungsi motoris. Efek dari lesi adalah spastic paralisis dan perubahan psikologis.
Area C. Fungsinya mengontrol gerakan mata. Efek dari lesi adalah mata berputar ke samping daerah yang cidera dan tidak bisa bergerak ke samping yang berlawanan.
Area D. Fungsinya mengontrol gerakan dari larynx, lidah dan bibir untuk memungkinkan gerakan pengucapan. Efek dari lesi adalah tidak mampu berbicara.
Area E (Silent Area). Fungsinya adalah meyakini untuk mengontrol perasaan yang tidak nyata, penglihatan depan, pendapat orang dewasa. Efek dari lesi adalah kekurangan perasaan ketidakmampuan menanggapi peristiwa-peristiwa pribadi.
Efek-efek dari cidera pada pre motor area berubah dengan rata-rata. Cidera dengan kejadian tiba-tiba seperti injury kepala atau haemorage (perdarahan)

LOBUS TEMPORALIS
Area F dan G. Berfungsi untuk mendengarkan dan menghubungkan/asosiasi suara. Efek dari lesi tidak mampu melokalisasi petunjuk suara.
Area H (Pre pendengaran dan pusat bicara). Berfungsi untuk mengetahui kata yang diucapkan. Efek dari lesi adalah tidak mampu mengetahui apa yang diucapkan.
Area lain pada aspek tengah dari lobus ini berhubungan dengan rasa dari pembau dan perasa.

LOBUS PARIETALIS
Area I,J,K. Berfungsi sebagai area penerima sensoris untuk sentuhan cahaya, diskriminasi dua titik, propiosepsi (perasaan sungsi sendi dan tekanan).

LOBUS OCCIPITALIS
Area L. Berfungsi sebagai area reseptive kesan visual. Efek dari lesi adalah kehilangan penglihatan untuk beberapa area pandang penglihatan.
Area M dan N. Berfungsi untuk merekam dan mengintepretasikan dari stimulasi visual. Efek dari lesi adalah tidak mampu merekam sesuatu yang dilihat.

Rabu, 15 April 2009

PEMERIKSAAN FISIOTERAPI SARAF TEPI

PEMERIKSAAN SPESIFIK
KONDISI SARAF (TEPI)

By : Piphiet
D3 FISIOTERAPI STIKES AL-IRSYAD AL-ISLAMIYYAH CILACAP


PEMERIKSAAN SARAF KRANIALIS
A.Saraf Olfaktorius (N. I)
Pemeriksaan dilakukan jika terdapat riwayat tentang hilangnya rasa pengecapan dan penciuman.
Cara :
Letakan bahan yang tidak merangsang seperti kopi, tembakau, parfum atau rempah-rempah. Letakkan salah satu bahan-bahan tersebut di depan salah satu lubang hidung pasien sementara lubang hidung yang lain kita tutup dan pasien menutup matanya. Kemudian pasien diminta untuk memberitahu saat mulai terhirupnya bahan tersebut dan mengidentifikasikan bahan yang dihirup.
B.Saraf Optikus (N. II)
Pemeriksaan meliputi penglihatan sentral (Visual acuity), penglihatan perifer (visual field), refleks pupil, pemeriksaan fundus okuli serta tes warna.
Pemeriksaan penglihatan sentral (visual acuity)
Penglihatan sentral diperiksa dengan kartu snellen, jari tangan, dan gerakan tangan.
1.Kartu snellen
Pada pemeriksaan kartu memerlukan jarak enam meter antara pasien dengan tabel, atau dapat juga pemeriksaan dilakukan dengan cermin. Ketajaman penglihatan normal bila baris yang bertanda 6 dapat dibaca dengan tepat oleh setiap mata (visus 6/6)
2.Jari tangan
Normal jari tangan bisa dilihat pada jarak 3 meter tetapi jika dapat melihat pada jarak 2 meter, maka perkiraan visusnya adalah kurang lebih 2/60.
3.Gerakan tangan
Normal gerakan tangan bisa dilihat pada jarak 2 meter tetapi bisa melihat pada jarak 1 meter berarti visusnya kurang lebih 1/3 10.
Pemeriksaan Penglihatan Perifer
Pemeriksaan penglihatan perifer dapat menghasilkan informasi tentang saraf optikus dan lintasan penglihatan mulai dari mata hingga korteks oksipitalis.
Tes Konfrontasi
Cara :
Jarak terapis – pasien : 60 – 100 cm objek yang digerakkan harus berada tepat di tengah-tengah jarak tersebut. Objek yang digunakan (2 jari terapis / ballpoint) di gerakan mulai dari sisi kanan ke kiri (lateral dan medial), atas dan bawah dimana mata lain dalam keadaan tertutup dan mata yang diperiksa harus menatap lurus kedepan dan tidak boleh melirik kearah objek tersebut.
Hasil pemeriksaan di proyeksikan dalam bentuk gambar di sebuah kartu.
Refleks Pupil
Ada dua macam refleks pupil.
1.Respon cahaya langsung
Cara :
Menggunakan senter kecil, arahkan sinar dari samping (sehingga pasien tidak memfokus pada cahaya dan tidak berakomodasi) ke arah salah satu pupil untuk melihat reaksinya terhadap cahaya. Inspeksi kedua pupil dan ulangi prosedur ini pada sisi lainnya. Pada keadaan normal pupil yang disinari akan mengecil.
2.Respon cahaya konsensual
Jika pada pupil yang satu disinari maka secara serentak pupil lainnya mengecil dengan ukuran yang sama.
C.Saraf Okulomotoris (N. III)
Pemeriksaan meliputi ; Ptosis, Gerakan bola mata dan Pupil.
Ptosis
Cara :
Ptosis positif bila salah satu kelopak mata memotong iris lebih rendah dari pada mata yang lain, atau bila pasien mendongakkan kepal ke belakang / ke atas secara spontan atau mengangkat alis mata secara spontan pula.
Gerakan bola mata.
Cara :
Pasien diminta untuk melihat dan mengikuti gerakan jari atau ballpoint ke arah medial, atas, dan bawah, sekligus ditanyakan adanya penglihatan ganda (diplopia) dan dilihat ada tidaknya nistagmus. Sebelum pemeriksaan gerakan bola mata (pada keadaan diam) sudah dilihat adanya strabismus (juling) dan deviasi conjugate ke satu sisi.

Pupil
Pemeriksaan pupil meliputi :
a.Bentuk dan ukuran pupil
b.Perbandingan pupil kanan dan kiri. Perbandingan sebesar 1mm masih dianggap normal.
Refleks pupil
a.Refleks cahaya langsung (bersama N. II)
b.Refleks cahaya tidak alngsung (bersama N. II)
c.Refleks pupil akomodatif atau konvergensi
Cara :
Jika pasien melihat hingnya sendiri kedua kedua otot rektus medialis akan berkontraksi. Bersamaan dengan gerakan bola mata tersebut maka kedua pupil akan mengecil (otot siliaris berkontraksi) (Tejuwono) atau pasien disuruh dan memfokuskan pandangannya pada suatu objek yang berjarak  15 cm didepan mata pasien. Hasil positif jika tidak terdapat konstriksi pada kedua pupil yang disebut reflek akomodasi.
D.Saraf Troklearis (N. IV)
Pemeriksaan meliputi :
1.gerak mata ke lateral bawah
2.strabismus konvergen
3.diplopia
E.Saraf Trigeminus (N. V)
Pemeriksaan meliputi; sensibilitas, motorik dan reflex
Sensibilitas
Ada tiga cabang sensorik, yaitu oftalmik, maksila, mandibula.
Cara :
Pemeriksaan dilakukan pada ketiga cabang saraf tersebut dengan membandingkan sisi yang satu dengan sisi yang lain.
Mula-mula-mula menggunakan ujung jarum yang tajam. Pasien menutup kedua matanya dan jarum ditusukkan dengan lembut pada kulit, pasien ditanya apakah terasa tajam atau tumpul.
Hilangnya sensasi nyeri akan menyebabkan tusukan terasa tumpul. Daerah yang menunjukkan sensasi yang tumpul diberi tanda dan pemeriksaan di lakukan dari daerah yang terasa tumpul menuju daerah yang terasa tajam. Juga dilakukan dari daerah yang terasa tajam menuju daerah yang terasa tumpul.
Juga lakukan tes pada daerah di atas dahi menuju belakang melewati puncak kepala. Jika cabang oftalmikus terkena sensasi akan timbul kembali bila mencapai dermatom C2.
Pasien tetap menutup kedua matanya dan lakukan tes untuk raba halus dengan kapas yang baru dengan cara yang sama. Pasien disuruh mengatakan “ya” setiap kali dia merasakan sentuhan kapas pada kulitnya.
Pemeriksaan temperatur tidak diperiksa secara rutin karena hilangnya sensasi temperatur terjadi pada keadaan hilangnya sensasi nyeri,
Motorik
Cara :
Pemeriksaan dimulai dengan menginspeksi adanya atrofi otot-otot temporalis dan masseter. Kemudian pasien disuruh mengatupkan giginya dan lakukan palpasi adanya kontraksi masseter diatas mandibula. Kemudian pasien disuruh membuka mulutnya (otot-otot pterigoideus) dan pertahankan tetap terbuka sedangkan terapis berusaha menutupnya. Lesi unilateral dari cabang motorik menyebabkan rahang berdeviasi kearah sisi yang lemah (yang terkena).
Refleks
1.Refleks kornea
a.Langsung
Cara :
Pasien diminta melirik kearah kanan atas kemudian kapas disentuhkan pada kornea mata kiri dan lakukan sebaliknya pada mata yang lain. Kemudian bandingkan kekuatan dan kecepatan refleks tersebut kanan dan kiri.
b.Tak langsung (konsensual)
Cara :
Sentuhan kapas pada kornea atas akan menimbulkan refleks menutup mata pada mata kiri dan sebaliknya. Kegunaan pemeriksaan refleks kornea konsensual yaitu untuk melihat lintasan mana yang rusak (aferen atau eferen).

2.Refleks bersin
Refleks masseter
Cara :
Pasien membuka mulut secukupnya (jangan terlalu lebar) kemudian dagu diberi alas jari tangan terapis diketuk mendadak dengan palu refleks. Respon normal akan negatif yaitu tidak ada penutupan mulut atau positif lemah yaitu penutupan mulut ringan.
F.Saraf abdusens (N. VI)
Cara :
Pemeriksaan meliputi gerakan mata ke lateral, strabismus konvergen dan diplopia tanda-tanda tersebut maksimal bila memandang ke sisi yang terkena dan bayangan yang timbul letaknya horizonatal dan sejajar satu sama lain.
G.Saraf fasialis (N. VII)
1.Tes kekuatan otot
a.Mengangkat alis, bandingkan kanan dan kiri.
b.Menutup mata sekuatnya (perhatikan asimetri) kemudioan pemeriksa mencoba membuka kedua mata tersebut bandingkan kekuatan kanan dan kiri.
c.Memperlihatkan gigi (asimetri)
d.Bersiul dan menculu (asimetri / deviasi ujung bibir)
e.meniup sekuatnya, bandingkan kekuatan uadara dari pipi masing-masing.
f.Menarik sudut mulut ke bawah.
Skala Ugo Fisch
Terdapat lima posisi pemeriksaan :
a.Posisi diam : 20 poin
b.Posisi menggerutkan dahi : 10 poin
c.Posisi menutup mata : 30 poin
d.Posisi bersiul : 10 poin
e.Posisi tersenyum : 30 poin

Empat skala penilaian
0 % : Zero, asimetri komplit, tak ada gerak volunteer
30 % : Poor, kesembuhan kearah asimetri
70 % : Fair, kesembuhan parsial kea rah simetri
100 % : Normal, simetri komplit
MMT Otot Wajah
0 : Zero, tidak ada kontraksi
1 : Trace, kontraksi minimal
3 : Fair, kontraksi, dilakukan susah payah
5 : Normal, kontraksi dan terkontrol
2. Tes sensorik khusus (pengecapan) 2/3 depan lidah)
Cara :
Pemeriksaan dengan rasa manis, pahit, asam, asin yang disentuhkan pada salah satu sisi lidah.
H.Saraf Vestibulokokhlearis (N. VIII)
Pemeriksaan pendengaran
1.Tes Rinne
Cara :
Garpu tala dengan frekuensi 256 Hz mula-mula dilakukan pada prosesus mastoideus, dibelakang telinga, dan bila bunyi tidak lagi terdengar letakkan garpu tala tersebut sejajar dengan meatus akustikus oksterna. Dalam keadaan normal pasien masih dapt mendengar. Pada tuli saraf pasien masih terdengar pada meatus akustikus eksternus. Keadaan ini disebut Rinne negatif.
2.Tes Weber
Cara :
Garpu tala 256 Hz diletakkan pada bagian tengah dahi dalam keadaan normal bunyi akan terdengar pada bagian tengah dahi pada tuli saraf bunyi dihantarkan ke telinga yang normal pada tuli konduktif bunyi tedengar lebih keras pada telinga yang abnormal.
I.Saraf glosofaringeus (N. IX) dan saraf vagus (N. X)
Nervus IX adalah komponen sensorik dan nervus X adalah komponen motorik.
Cara :
Sentuh bagian belakang faring pada setiap sisi dengan spatula, tanyakan kepada pasien apakah ia merasakan sentuhan spatula tersebut (N. IX) setiap kali dilakukan. Hasil positif : Jika konraksinya tidak ada dan sensasinya utuh maka ini menunjukkan kelumpuhan nervus X, kemudian pasien disuruh berbicara agar dapat menilai adanya suara serak, kemudian disuruh batuk, tes juga rasa kecap secara rutin pada sepertinya posterior lidah (N. IX).
J.Saraf Asesorius (N. XI)
Cara :
Pemeriksaan saraf asesorius dengan cara meminta pasien mengangkat bahunya dan kemudian rabalah massa otot trapezius dan usahakan untuk menekan bahunya ke bawah, kemudian pasien disuruh memutar kepalanya dengan melawan tahanan (tangan pemeriksa) dan juga raba massa otot sternokleido mastoideus.
K.Saraf Hipoglosus (N. XII)
Cara :
Inspeksi lidah dalam keadaan diam didasar mulut, tentukan adanya atrofi dan fasikulasi (kontraksi otot yang halus iregular dan tidak ritmik). Pasien diminta menjulurkan lidahnya yang berdeviasi ke arah sisi yang lemah (terkena).
Lesi UMN dari N XII biasanya bilateral dan menyebabkan lidah imobil dan kecil. Kombinasi lesi UMN bilateral dari N. IX. X, XII disebut kelumpuhan pseudobulbar.

PEMERIKSAAN FISIOTERAPI PADA SARAF TEPI
A.Tes Lhermitte
Posis pasien : Sitting
Posisi terapis: Dibelakang pasien
Cara :
Pasien duduk santai dan nyaman dengan neck mid position. Tangan terapis diatas kepala pasien (tegak lurus dengan kepala). Berikan tekanan (kompresi) pada kepala dalam berbagai posisi (fleksi, ekstensi, lateral fleksi dextra dan lateral fleksi sinistra).
Hasil :
Positif jika terdapat nyeri pada daerah leher hingga lengan akibat terjepitnya saraf Brachialis.
Dapat diberikan pada kasus Cervikal Root Syndrome.
B.Tes Distraksi
Posisi pasien : Sitting
Posisi terapis : Dibelakang pasien
Cara :
Salah satu tangan terapis berada didagu dan tangan yang lain dibelakang kepala kemudian angkat kepala pasien (distraksi).
Hasil :
Positif jika nyeri menghilang.
Dapat diberikan pada kasus Cervikal Root Syndrome.
C.Tes Finkelstein
Posisi pasien : Sitting or standing
Posis terapis : Didepan pasien
Cara :
Pasien mengepalkan tangannya, diaman ibu jari diliputi atau digenggam oleh jari-jari selanjutnya pasien atau terapis menggerakan kearah ulnar deviasi.
Hasil :
Positif bila terdapat nyeri didaerah radial wrist.
Dapat diberikan pada kasus De Quervain Syndrome.

D.Tes Phallen
Posisi pasien : Sitting or standing
Posisi terapis : Didepan pasien
Cara :
Fleksi palmar yang ditahan salah satu tangan selama 30 detik.
Hasil :
Positif jika pasien mengalami kesemutan didaerah karpal.
Dapat diberikan pada kasus Carpat Tunnel Syndrome.
E.Tes Tinnel
Posisi pasien : Sitting or standing
Posisi terapis : didepan pasien
Cara :
Perkusi atau penekanan n. medianus pada pergelangan tangan (posisi tangan sedikit dorsi fleksi) di daerah ligamentum tranversum dapat menimbulkan rasa nyeri atau kesemutan pada jari-jari yang dilalui oleh n. medianus.
Hasil :
Positif jika nyeri pada daerah yang dilalui n. medianus.
Dapat diberikan pada kasus Carpat Tunnel Syndrome.
F.Torniquet test
Posis pasien : Supine lying
Posisi terapis : Disamping pasien
Cara :
Menggunakan tensimeter cuff dipasang pada lengan atas diatas tekanan sistolik selama 1-2 menit, biasanya dipasang pada tekanan 220 mmHg. Pada tes ini akan terjadi peningkatan rasa nyeri dan semutan pada daerah distribusi n. medianus, karena bagian yang terjepit pada n. medianus di daerah carpal tunnel lebih sensitif terhadap ischemia dari pada saraf yang normal.
Hasil :
Positif bila terdapat rasa nyeri dan kesemutan didaerah n. medianus.
G.Luthy's sign (bottle's sign)
Posisi pasien : Sitting or standing
Posis terapis : didepan pasien
Cara :
Pasien diminta melingkarkan ibu jari dan jari telunjuknya pada botol atau gelas. Hasil : Positif bila kulit tangan penderita tidak dapat menyentuh dindingnya dengan rapat.
Dapat diberikan pada kasus Carpat Tunnel Syndrome.
H.Adson Tes
Posisi pasien : Sitting or standing
Posisi terapis : Didepan menyamping pasien
Cara :
Pasien menarik dagunya dan menengok sejauh mungkin ke satu arah dan meminta pasien menarik nafas sedalam mungkin dan terapis menekan arteri radialis.
Hasil :
Positif bila nteri pada arteri radialis.
I.Tes Eden
Posisi pasien : Standing
Posis terapis : Disamping pasien
Cara :
Berikan penekanan pada arteri radialis, kemudian traksi pada lengan atau pasien menjatuhkan badannya (badan pasien miring).
Hasil :
Positif jika pasien mersakan nyeri dan kesemutan pada arteri radialis.
J.Laseigue’s Test
Posis pasien : Supine lying, hip adduksi dan endorotasi, knee ekstensi
Posisi terapis : Disamping pasien
Cara :
Terapis mengangkat tungkai pasien (350 – 750), bila pasien mengeluh nyeri pada pantat atau paha belakang.
Hasil :
Positif bila terdapat nyeri. Nyeri pertama terasa di pantat berarti terdapat penekanan syaraf yang sifatnya central.
K.Bragard’s Test
Posisi pasien : Supine lying, hip adduksi dan endorotasi, knee lurus
Posisi terapis : Disamping pasien
Cara :
Terapis mengangkat tungkai pasien (250 – 650), disertai dorsi fleksi ankle.
Hasil :
Positif bila terdapat nyeri. Nyeri pertama terasa di pantat berarti terdapat penekanan syaraf yang sifatnya central.
L.Neri Test
Posis pasien: Supine lying, hip adduksi dan endorotasi, knee lurus
Posisi terapis : Disamping pasien
Cara :
Terapis mengangkat tungkai pasien (250 – 650),lalu gerakan dorsi fleksi ankle disertai dengan mengangkat kepalanya (fleksi neck).
Hasil :
Positif bila terdapat nyeri. Nyeri pertama terasa di pantat berarti terdapat penekanan syaraf yang sifatnya central.
M.Slump Test
Posisi pasien : Sitting
Posisi terapis : Disamping pasien
Cara :
Terapis mempertahankan kepala pasien pada posisi netral, pasien diminta mengendorkan punggungnya (fleksi lumbal), kemudian beri tekanan (kompresi) pada bahu kanan kiri untuk memepertahankan posis fleksi limbal, selanjutnya pasien diminta menggerakan fleksi leher dan kepala sejauh mungkin, (kemudian terapis mempertahankan posisi maksimal fleksi vertebra tersebut dengan memberi tekanan pada kepala bagian belakang, terapis menahan kaki pasien pada maksimal dorsi fleksi, pasien diminta meluruskan (ekstensi) lututnya, jika pasien tidak mampu meluruskan lututnya (karena nyeri), tekanan pada kepala dipindah ke bahu kanan kiri.
Hasil :
Bila saat tekanan pada kepala dipindah ke bahu pasien, mampu menambah gerakan ekstensi lutut atau nyeri berkurang, berarti tes positif.
N.Sitting Root Test
Tes ini merupakan modifikasi dari slump test
Posisi pasien : Sitting dengan hip fleksi 900 , leher fleksi
Cara :
Aktif ekstensi lutut.
Hasil :
Bila nyeri terasa di pantat, paha belakang dan betis berarti terdapat penekanan syaraf Isciadikus.
O.Brudzinski-Kernig Test
Posisi pasien : Supine lying dengan kedua tangan di belakang kepala
Posisi terapis : Disamping pasien
Cara :
Aktif fleksi neck diikuti dengan fleksi hip (dengan knee lurus) kemudian fleksi knee.
Hasil :
Bila saat hip di fleksikan (denagn lutut lurus) nyeri terasa kemudian saat lutut difleksikan nyeri hilang berarti tes positif
P.Prone Knee Bending (PKB/Nachlas) Test
Posisi pasien : Prone lying
Posisi terapis : Disamping pasien
Cara :
Terapis memfleksikan lutut pasien sejauh mungkin (jangan sampai terjadi gerak rotasi hip) dan menahannya ada posisi maksimal fleksi sekitar 45-60 detik
Hasil :
Bila nyeri pada punngung bawah, pantat atau paha belakang berarti terjadi penekanan akar syaraf L2 atau L3.
Q.Naffziger’s Test
Posisi pasien : Standing
Posisi terapis : Dibelakang pasien
Cara :
Terapis menekan pada kedua vena jugularis dan menyuruh pasien mengejan atau batuk.
Hasil :
Bila saat batuk terasa nyeri pada punggung bawah berarti tes positif.
R.Tes Patrick
Posisi pasien : Supine lying
Posisi terapis : Disamping pasien
Cara :
Tempatkan maleolus lateralis tungkai yang terkena pada lutut yang sehat dan terapis memberikan penekanan pada knee yang difleksikan.
Hasil :
Positif bila terdapat nyeri pada daerah panggul.
S.Tes Contra Patric
Posis pasien : Supine lying
Posisi terapis : disamping pasien
Cara :
Fleksi dan endorotasikan tungkai yang sakit serta gerakan adduksi kemudian terapis member penekanan sejenak pada knee.
Hasil :
Positif bila pasien nyeri didaerah garis sendi sakroiliaka.
T.Tes Gaenslen
Posisi pasien : Supine lying dengan kedua knee fleksi
Posisi terapis : Disamping pasien
Cara :
Pasien supine lying dengan kedua knee fleksi. Kemudian pasien diminta menggantungkan tungkai yang berada ditepi bed.
Hasil :
Positif bila nyeri terasa disendi sakroiliaka ipsilateral pada saat tungkai itu dilepaskan untuk bergantung di tepi bed.

DAFTAR PUSAKA
Sidharta, Priguna dan Mahar Mardjono. 2008. NEUROLOGI KLINIS DASAR. Jakarta: Dian Rakyat.
Bates, Barbara. 1995. PEMERIKSAAN FISIK & RIWAYAT KESEHATAN. Jakarta. Penerbit Buku Kedokteran EGC.
De Wolf dan Mens. 1990. PEMERIKSAAN ALAT PENGGERAK TUBUH. Deurne-Antwerpen.A.N de Wolf.
Konin, Jeff G, dkk. 1997. SPECIAL TEST FOR ORTHOPEDIC EXAMINATION. GroveRoad: SLAC Incorporated.
http://www.perdossijaya.org/perdossijaya/index.php?option=com_content&view=article&id=76:neuropati-entrapmen-pada-ekstremitas-atas&catid=45:artikel&Itemid=63
http://www.fisiosby.com/index.php?option=com_content&task=view&id=9&Itemid=7
http://72.14.235.132/search?q=cache:fFDGdeifBXgJ:library.usu.ac.id/download/fk/penysaraf-aldi2.pdf+phalen+test&cd=6&hl=id&ct=clnk&gl=id
http://cetrione.blogspot.com/2008/05/entrapment-neuropati.html
http://www.angelfire.com/nc/neurosurgery/Atas.html

WELCOME TO MY WORLD

SELAMAT DATANG DI WEB-BLOG-QU

about me

Siapa saya...?hanya Allah yang tau but sedikit crita nich. I'm a physiotherpist.sekarang critanya baru ngajar di Cilacap City