Senin, 27 April 2009

Fisioterapi Craniocerebral Injury


by:Alex
Craniocerebral injuries atau cidera pada kepala dapat terjadi karena dua kejadian.
Kejadian yang pertama yaitu kepala diam. Artinya trauma terjadi mengenai kepala pada saat kepala tidak bergerak.Kejadian yang kedua yaitu kepala bergerak. Artinya trauma terjadi pada kepala dimana kepala mengenai obyek yang relatif diam/tidak bergerak dan datang dengan cepat.
Kejadian I (Kepala Diam) : Cidera kepala pada kejadian I ini jarang terjadi. Contoh : luka terkena peluru/tikaman pada kepala.Jika terjadi fraktur maka dapat menyebabkan penguluran dan penekanan saraf cranial dengan karakteristik adanya kelumpuhan dan demikian juga pada pembuluh darah dapat menimbulkan komplikasi pendarahan pada extradural.Fragmen tulang mengalami depresi dengan luka goresan pada dura dan di dasar otak. Trauma yang kecil dengan kekuatan besar menimbulkan penetrasi rongga cranial membawa infeksi dan menyebabkan kerusakan otak yang extensive
Kejadian II (Kepala Bergerak):Benturan pada kepala yang mendadak dapat menyebabkan : (a) compresi distorsi dari tengkorak yang maximal pada satu sisi (b) segera soft brain berlawanan dengan promontorium bawah tengkorak yang tak beraturan, yang menyebabkan confusi atau pendarahan pada regio tersebut
Fraktur hampir berdekatan dengan letak injury atau disebabkan karena distorsi, beberapa jarak dari letak injury tersebut.
Catatan Penting:Fraktur otak berbeda dengan fraktur pada tulang yang lain. Karena pada tulang tengkorak terdapat jaringan spongiosa (jaringan lunak) sedangkan jaringan yang lain terdiri dari jaringan yang keras. Pada tulang terngkorak terdapat rongga-rongga.
Mekanisme saat terjadi cidera kepala :
Kelumpuhan total pada fungsi otak. Menyebabkan tidak berfungsinya fungsi-fungsi otak yang vital.Nadi dan pernafasan telah berhenti sejenak tetapi kemudian kembali lagi. Pada saat ini terjadi flacid paralysis dan berhentinya gerakan reflek.Fungsi reflek kembali normal, pasien dapat menjawab perintah.Gerakan disadari/voluntary dan kemampuan berbicara dapat kembali tanpa kontrol. Pasien dalam keadaan bingung gelisah dan kadang bengis. Akhirnya pasien tenang namun dalam keadaan kebingungan terus menerus.Automatism. Pasien akan menjawab pertanyaan-pertanyaan sederhana dan melakukan gerakan-gerakan biasa dalam hasil perintah yang efektif ia masih pusing dan sadar akan lingkungan secara tidak sempurna. Mengembalikan fungsi otak dimulai dari tingkat terendah, fungsi tinggi diperoleh pada tingkat terakhir
Proses memperoleh kesadaran dari lambat atau cepat adalah selalu setahap demi setahap.
Perawatan Fisioterapi
1.Breathing exercise, clapping, shaking dan rib-springing dan suction penting diberikan dalam bagian pada komplikasi respirasi. Ketika bahaya masa akut terlampaui, breathing exercise masih penting dilakukan untuk melihat pernafasan pasien pada tiap-tiap perawatan.
2. Passieve movement dilakukan dua kali sehari untuk melancarkan sirkulasi dan diajarkan untuk melakukan gerakan full range dalam tiap-tiap kesempatan.
3. Positioning untuk mencegah terjadinya kontraktur. Jika mulai timbul spasme lebih baik diberikan wet cold

Minggu, 26 April 2009

Bedah Cranial (Cranial Surgery)

KONDISI YANG DAPAT DITANGANI DENGAN BEDAH CRANIAL :
1. Trauma cerebri karena head injury
2. Craniovascular disease :
a. Haemorage (pendarahan) karena aneurisma intracranial atau anomali arteri dan vena intracranial.b.Lesi Ischemik : stenosis arteria carotis
3. Infeksi cerebri yang menimbulkan abses
4. Lesi neoplasma seperti :a.Tumor cerebri,b.Tumor cereberal,c.Neurinoma acoustic
5. Diskinesia/parkinsonisme/gangguan gerak akibat perlengketan sisa peradangan otak
6. Hidrocephalus
7. Epilepsi atau kejang

Perawatan Post Operasi
Setelah operasi kepala pasien dibalut dengan elasstic bandage, termasuk mata pada sisi yang berhubungan dengan sisi yang dioperasi, untuk mencegah dan mengontrol odema post operasi. Infus intravenous diberikan sampai hari pertama post operasi.
Hindarkan kegelisahan dan kebingungan pasien juga kemungkinan pasien membuka balutan kepala karena hal ini memungkinkan terjadinya infeksi kepala (meningitis)


Komplikasi

1. LCS bocor setelah operasi maka dibutuhkan operasi lebih lanjut
2. Odema post operasi (terjadi trombosis atau perdarahan pada pembuluh darah otak)
3. Trombosis pada tempat lain dan emboli paru
4. Kejang/epilepsi
5. Komplikasi respirasi
Odema post operasi dapat menekan pusat pernafasan dari N.Vagus di medulla oblongata. Hal tersebut mengakibatkan perubahan frekuensi pernafasan, hilangnya reflek batuk dan kemungkinan hilangnya kemampuan menelan. Ini merupakan bahaya aspirasi mukus dan muntah.Sampai kembalinya kemampuan menelan pasien dapat diberi makan buatan lewat selang.Postural drainage merupakan kontraindikasi sehingga menyulitkan komplikasi chest FT.Posisi pasien yang menetap dalam posisi tertentu akan mempengaruhi tekanan darah. Untuk mengatasi hal ini kepala dapat dinaikkan 10 derajat guna meningkatkan tekanan darah.Deep breathing harus dilakukan pada level dada bagian depan dan samping.
Suction : dilakukan untuk membuang sekret/lendir jika tingkat kesadaran pasien menurun atau pasien tidak dapat batuk secara aktif. Suction sebaiknya dilakukan oleh dua orang. Satu orang melakukan suction dan satu orang membantu pasien bernafas dan batuk. Shacking, clapping dan rib springging (hentakan iga) membantu membebaskan secret.
Tracheostomy : dilakukan jika terjadi retensi CO2 akibat kesulitan pernafasan atau kebebasan jalan nafas tidak bisa dipertahankan oleh karena adanya hipersekresi akibat gangguan midbrain.

Perawatan Fisioterapi Secara Umum (sesuai dengan tujuan):
Tujuan :
1.Mencegah Komplikasi Pernafasan
2.Mempertahankan sirkulasi
3.Membuat assesmen yang tepat

Tanda Dan Gejala Kelainan Otak

by : Alex
Tanda utama adalah meningkatnya tekanan intra cranial. Tekanan intra cranial otak tergantung volume otak. Pada anak dibawah umur 18 bulan bertambah meningkatnya volume akan menimbulkan bertambahnya ukuran kepala. Sedangkan pada individu (lebih dari 718 bulan) tidak ada peningkatan ukuran kepala. Jika ada peningkatan ukuran kepala akan mengakibatkan kerusakan fungsi otak
Meningkatnya volume otak dapat disebabkan karena tumor, abses, tersumbatnya saluran cerebrospinal

Tanda Meningkatnya Tekanan Intracranial

Adanya peningkatan tekanan dalam cranial mengakibatkan dinding vena yang lembut di otak akan tertekan sehingga hal ini mengakibatkan berkurangnya pasokan oksigen yang harus diterima jaringan otak
Tanda-tanda yang ditemukan :
1.Pusing
Tensi abnormal dari pembuluh darah otak pada tahap awal biasanya terjadi. Paroxsymal yang terjadi pada malam hari dan pagi hari. Tahap selanjutnya akan terjadi nyeri kepala. Nyeri bertambah saat tidur telentang dan berkurang saat duduk/berdiri
2.Papil Odema
Odema/bengkak pada discus opticus menyebabkan meluasnya daerah kebutaan yang menyebabkan kelainan penglihatan dan bila berat mengakibatkan kebutaan.
3.Vomiting (muntah)
Terjadi karena pusing yang cukup berat
4.Pulse Rate
Baik pada kondisi akut maupun sub akut meningkatnya tekanan intracranial menyebabkan pulse rate lebih lambat. Tetapi bila tekanan intracranial berkepanjangan maka pulse rate lebih cepat.Meningkatnya tekanan intracranial yang cepat akan menaikkan tekanan darah, tetapi apabila terjadi kronis maka tidak ada penyebabnya.
5.Respiratory Rate
Hal ini tidak disebabkan meningkatnya tekanan intracranial, tetapi oleh karena kecepatan peningkatan tekanan intracranial itu menyebabkan hilangnya kesadaran dan mengakibatkan pernafasan dalam yang lambat.
6.Mental Symtom
Kelainan ini terjadi dengan bermacam variasi mulai dari kebingungan, setengah sadar sampai tingkat tidak sadar

Rabu, 22 April 2009

Fungsi Lobus Cerebrum dan Efek Dari Lesi

CEREBRUM
Adalah bagian terbesar dari otak yang terdiri dari dua bagian (hemispherium dextra dan hemispherium sinistra) dan berhubungan dengan bundel-bundel saraf (corpus collosum). Masing-masing hemispherium terbagi menjadi empat lobus yaitu lobus frontalis, lobus parietalis, lobus temporalis dan lobus occipitalis). Hemispherium dextra mengontrol sisi tubuh sebelah kiri, begitu juga sebaliknya.
Lobus Frontalis :
Area A (Area Motoris) yang memberi kenaikan ke tractus cerebro spinalis. Fungsinya mengontrol gerakan volunteer ½ samping yang berlawanan dari satu tubuh dengan mewakili pada cortex dalam posisi upside down (terbalik). Efek dari lesi adalah placid paralisis lesi diantara hemispherium menghasilkan paraplegi.
Area B (Pre Motor Area). Fungsinya melokalisasi fungsi motoris. Efek dari lesi adalah spastic paralisis dan perubahan psikologis.
Area C. Fungsinya mengontrol gerakan mata. Efek dari lesi adalah mata berputar ke samping daerah yang cidera dan tidak bisa bergerak ke samping yang berlawanan.
Area D. Fungsinya mengontrol gerakan dari larynx, lidah dan bibir untuk memungkinkan gerakan pengucapan. Efek dari lesi adalah tidak mampu berbicara.
Area E (Silent Area). Fungsinya adalah meyakini untuk mengontrol perasaan yang tidak nyata, penglihatan depan, pendapat orang dewasa. Efek dari lesi adalah kekurangan perasaan ketidakmampuan menanggapi peristiwa-peristiwa pribadi.
Efek-efek dari cidera pada pre motor area berubah dengan rata-rata. Cidera dengan kejadian tiba-tiba seperti injury kepala atau haemorage (perdarahan)

LOBUS TEMPORALIS
Area F dan G. Berfungsi untuk mendengarkan dan menghubungkan/asosiasi suara. Efek dari lesi tidak mampu melokalisasi petunjuk suara.
Area H (Pre pendengaran dan pusat bicara). Berfungsi untuk mengetahui kata yang diucapkan. Efek dari lesi adalah tidak mampu mengetahui apa yang diucapkan.
Area lain pada aspek tengah dari lobus ini berhubungan dengan rasa dari pembau dan perasa.

LOBUS PARIETALIS
Area I,J,K. Berfungsi sebagai area penerima sensoris untuk sentuhan cahaya, diskriminasi dua titik, propiosepsi (perasaan sungsi sendi dan tekanan).

LOBUS OCCIPITALIS
Area L. Berfungsi sebagai area reseptive kesan visual. Efek dari lesi adalah kehilangan penglihatan untuk beberapa area pandang penglihatan.
Area M dan N. Berfungsi untuk merekam dan mengintepretasikan dari stimulasi visual. Efek dari lesi adalah tidak mampu merekam sesuatu yang dilihat.

Rabu, 15 April 2009

PEMERIKSAAN FISIOTERAPI SARAF TEPI

PEMERIKSAAN SPESIFIK
KONDISI SARAF (TEPI)

By : Piphiet
D3 FISIOTERAPI STIKES AL-IRSYAD AL-ISLAMIYYAH CILACAP


PEMERIKSAAN SARAF KRANIALIS
A.Saraf Olfaktorius (N. I)
Pemeriksaan dilakukan jika terdapat riwayat tentang hilangnya rasa pengecapan dan penciuman.
Cara :
Letakan bahan yang tidak merangsang seperti kopi, tembakau, parfum atau rempah-rempah. Letakkan salah satu bahan-bahan tersebut di depan salah satu lubang hidung pasien sementara lubang hidung yang lain kita tutup dan pasien menutup matanya. Kemudian pasien diminta untuk memberitahu saat mulai terhirupnya bahan tersebut dan mengidentifikasikan bahan yang dihirup.
B.Saraf Optikus (N. II)
Pemeriksaan meliputi penglihatan sentral (Visual acuity), penglihatan perifer (visual field), refleks pupil, pemeriksaan fundus okuli serta tes warna.
Pemeriksaan penglihatan sentral (visual acuity)
Penglihatan sentral diperiksa dengan kartu snellen, jari tangan, dan gerakan tangan.
1.Kartu snellen
Pada pemeriksaan kartu memerlukan jarak enam meter antara pasien dengan tabel, atau dapat juga pemeriksaan dilakukan dengan cermin. Ketajaman penglihatan normal bila baris yang bertanda 6 dapat dibaca dengan tepat oleh setiap mata (visus 6/6)
2.Jari tangan
Normal jari tangan bisa dilihat pada jarak 3 meter tetapi jika dapat melihat pada jarak 2 meter, maka perkiraan visusnya adalah kurang lebih 2/60.
3.Gerakan tangan
Normal gerakan tangan bisa dilihat pada jarak 2 meter tetapi bisa melihat pada jarak 1 meter berarti visusnya kurang lebih 1/3 10.
Pemeriksaan Penglihatan Perifer
Pemeriksaan penglihatan perifer dapat menghasilkan informasi tentang saraf optikus dan lintasan penglihatan mulai dari mata hingga korteks oksipitalis.
Tes Konfrontasi
Cara :
Jarak terapis – pasien : 60 – 100 cm objek yang digerakkan harus berada tepat di tengah-tengah jarak tersebut. Objek yang digunakan (2 jari terapis / ballpoint) di gerakan mulai dari sisi kanan ke kiri (lateral dan medial), atas dan bawah dimana mata lain dalam keadaan tertutup dan mata yang diperiksa harus menatap lurus kedepan dan tidak boleh melirik kearah objek tersebut.
Hasil pemeriksaan di proyeksikan dalam bentuk gambar di sebuah kartu.
Refleks Pupil
Ada dua macam refleks pupil.
1.Respon cahaya langsung
Cara :
Menggunakan senter kecil, arahkan sinar dari samping (sehingga pasien tidak memfokus pada cahaya dan tidak berakomodasi) ke arah salah satu pupil untuk melihat reaksinya terhadap cahaya. Inspeksi kedua pupil dan ulangi prosedur ini pada sisi lainnya. Pada keadaan normal pupil yang disinari akan mengecil.
2.Respon cahaya konsensual
Jika pada pupil yang satu disinari maka secara serentak pupil lainnya mengecil dengan ukuran yang sama.
C.Saraf Okulomotoris (N. III)
Pemeriksaan meliputi ; Ptosis, Gerakan bola mata dan Pupil.
Ptosis
Cara :
Ptosis positif bila salah satu kelopak mata memotong iris lebih rendah dari pada mata yang lain, atau bila pasien mendongakkan kepal ke belakang / ke atas secara spontan atau mengangkat alis mata secara spontan pula.
Gerakan bola mata.
Cara :
Pasien diminta untuk melihat dan mengikuti gerakan jari atau ballpoint ke arah medial, atas, dan bawah, sekligus ditanyakan adanya penglihatan ganda (diplopia) dan dilihat ada tidaknya nistagmus. Sebelum pemeriksaan gerakan bola mata (pada keadaan diam) sudah dilihat adanya strabismus (juling) dan deviasi conjugate ke satu sisi.

Pupil
Pemeriksaan pupil meliputi :
a.Bentuk dan ukuran pupil
b.Perbandingan pupil kanan dan kiri. Perbandingan sebesar 1mm masih dianggap normal.
Refleks pupil
a.Refleks cahaya langsung (bersama N. II)
b.Refleks cahaya tidak alngsung (bersama N. II)
c.Refleks pupil akomodatif atau konvergensi
Cara :
Jika pasien melihat hingnya sendiri kedua kedua otot rektus medialis akan berkontraksi. Bersamaan dengan gerakan bola mata tersebut maka kedua pupil akan mengecil (otot siliaris berkontraksi) (Tejuwono) atau pasien disuruh dan memfokuskan pandangannya pada suatu objek yang berjarak  15 cm didepan mata pasien. Hasil positif jika tidak terdapat konstriksi pada kedua pupil yang disebut reflek akomodasi.
D.Saraf Troklearis (N. IV)
Pemeriksaan meliputi :
1.gerak mata ke lateral bawah
2.strabismus konvergen
3.diplopia
E.Saraf Trigeminus (N. V)
Pemeriksaan meliputi; sensibilitas, motorik dan reflex
Sensibilitas
Ada tiga cabang sensorik, yaitu oftalmik, maksila, mandibula.
Cara :
Pemeriksaan dilakukan pada ketiga cabang saraf tersebut dengan membandingkan sisi yang satu dengan sisi yang lain.
Mula-mula-mula menggunakan ujung jarum yang tajam. Pasien menutup kedua matanya dan jarum ditusukkan dengan lembut pada kulit, pasien ditanya apakah terasa tajam atau tumpul.
Hilangnya sensasi nyeri akan menyebabkan tusukan terasa tumpul. Daerah yang menunjukkan sensasi yang tumpul diberi tanda dan pemeriksaan di lakukan dari daerah yang terasa tumpul menuju daerah yang terasa tajam. Juga dilakukan dari daerah yang terasa tajam menuju daerah yang terasa tumpul.
Juga lakukan tes pada daerah di atas dahi menuju belakang melewati puncak kepala. Jika cabang oftalmikus terkena sensasi akan timbul kembali bila mencapai dermatom C2.
Pasien tetap menutup kedua matanya dan lakukan tes untuk raba halus dengan kapas yang baru dengan cara yang sama. Pasien disuruh mengatakan “ya” setiap kali dia merasakan sentuhan kapas pada kulitnya.
Pemeriksaan temperatur tidak diperiksa secara rutin karena hilangnya sensasi temperatur terjadi pada keadaan hilangnya sensasi nyeri,
Motorik
Cara :
Pemeriksaan dimulai dengan menginspeksi adanya atrofi otot-otot temporalis dan masseter. Kemudian pasien disuruh mengatupkan giginya dan lakukan palpasi adanya kontraksi masseter diatas mandibula. Kemudian pasien disuruh membuka mulutnya (otot-otot pterigoideus) dan pertahankan tetap terbuka sedangkan terapis berusaha menutupnya. Lesi unilateral dari cabang motorik menyebabkan rahang berdeviasi kearah sisi yang lemah (yang terkena).
Refleks
1.Refleks kornea
a.Langsung
Cara :
Pasien diminta melirik kearah kanan atas kemudian kapas disentuhkan pada kornea mata kiri dan lakukan sebaliknya pada mata yang lain. Kemudian bandingkan kekuatan dan kecepatan refleks tersebut kanan dan kiri.
b.Tak langsung (konsensual)
Cara :
Sentuhan kapas pada kornea atas akan menimbulkan refleks menutup mata pada mata kiri dan sebaliknya. Kegunaan pemeriksaan refleks kornea konsensual yaitu untuk melihat lintasan mana yang rusak (aferen atau eferen).

2.Refleks bersin
Refleks masseter
Cara :
Pasien membuka mulut secukupnya (jangan terlalu lebar) kemudian dagu diberi alas jari tangan terapis diketuk mendadak dengan palu refleks. Respon normal akan negatif yaitu tidak ada penutupan mulut atau positif lemah yaitu penutupan mulut ringan.
F.Saraf abdusens (N. VI)
Cara :
Pemeriksaan meliputi gerakan mata ke lateral, strabismus konvergen dan diplopia tanda-tanda tersebut maksimal bila memandang ke sisi yang terkena dan bayangan yang timbul letaknya horizonatal dan sejajar satu sama lain.
G.Saraf fasialis (N. VII)
1.Tes kekuatan otot
a.Mengangkat alis, bandingkan kanan dan kiri.
b.Menutup mata sekuatnya (perhatikan asimetri) kemudioan pemeriksa mencoba membuka kedua mata tersebut bandingkan kekuatan kanan dan kiri.
c.Memperlihatkan gigi (asimetri)
d.Bersiul dan menculu (asimetri / deviasi ujung bibir)
e.meniup sekuatnya, bandingkan kekuatan uadara dari pipi masing-masing.
f.Menarik sudut mulut ke bawah.
Skala Ugo Fisch
Terdapat lima posisi pemeriksaan :
a.Posisi diam : 20 poin
b.Posisi menggerutkan dahi : 10 poin
c.Posisi menutup mata : 30 poin
d.Posisi bersiul : 10 poin
e.Posisi tersenyum : 30 poin

Empat skala penilaian
0 % : Zero, asimetri komplit, tak ada gerak volunteer
30 % : Poor, kesembuhan kearah asimetri
70 % : Fair, kesembuhan parsial kea rah simetri
100 % : Normal, simetri komplit
MMT Otot Wajah
0 : Zero, tidak ada kontraksi
1 : Trace, kontraksi minimal
3 : Fair, kontraksi, dilakukan susah payah
5 : Normal, kontraksi dan terkontrol
2. Tes sensorik khusus (pengecapan) 2/3 depan lidah)
Cara :
Pemeriksaan dengan rasa manis, pahit, asam, asin yang disentuhkan pada salah satu sisi lidah.
H.Saraf Vestibulokokhlearis (N. VIII)
Pemeriksaan pendengaran
1.Tes Rinne
Cara :
Garpu tala dengan frekuensi 256 Hz mula-mula dilakukan pada prosesus mastoideus, dibelakang telinga, dan bila bunyi tidak lagi terdengar letakkan garpu tala tersebut sejajar dengan meatus akustikus oksterna. Dalam keadaan normal pasien masih dapt mendengar. Pada tuli saraf pasien masih terdengar pada meatus akustikus eksternus. Keadaan ini disebut Rinne negatif.
2.Tes Weber
Cara :
Garpu tala 256 Hz diletakkan pada bagian tengah dahi dalam keadaan normal bunyi akan terdengar pada bagian tengah dahi pada tuli saraf bunyi dihantarkan ke telinga yang normal pada tuli konduktif bunyi tedengar lebih keras pada telinga yang abnormal.
I.Saraf glosofaringeus (N. IX) dan saraf vagus (N. X)
Nervus IX adalah komponen sensorik dan nervus X adalah komponen motorik.
Cara :
Sentuh bagian belakang faring pada setiap sisi dengan spatula, tanyakan kepada pasien apakah ia merasakan sentuhan spatula tersebut (N. IX) setiap kali dilakukan. Hasil positif : Jika konraksinya tidak ada dan sensasinya utuh maka ini menunjukkan kelumpuhan nervus X, kemudian pasien disuruh berbicara agar dapat menilai adanya suara serak, kemudian disuruh batuk, tes juga rasa kecap secara rutin pada sepertinya posterior lidah (N. IX).
J.Saraf Asesorius (N. XI)
Cara :
Pemeriksaan saraf asesorius dengan cara meminta pasien mengangkat bahunya dan kemudian rabalah massa otot trapezius dan usahakan untuk menekan bahunya ke bawah, kemudian pasien disuruh memutar kepalanya dengan melawan tahanan (tangan pemeriksa) dan juga raba massa otot sternokleido mastoideus.
K.Saraf Hipoglosus (N. XII)
Cara :
Inspeksi lidah dalam keadaan diam didasar mulut, tentukan adanya atrofi dan fasikulasi (kontraksi otot yang halus iregular dan tidak ritmik). Pasien diminta menjulurkan lidahnya yang berdeviasi ke arah sisi yang lemah (terkena).
Lesi UMN dari N XII biasanya bilateral dan menyebabkan lidah imobil dan kecil. Kombinasi lesi UMN bilateral dari N. IX. X, XII disebut kelumpuhan pseudobulbar.

PEMERIKSAAN FISIOTERAPI PADA SARAF TEPI
A.Tes Lhermitte
Posis pasien : Sitting
Posisi terapis: Dibelakang pasien
Cara :
Pasien duduk santai dan nyaman dengan neck mid position. Tangan terapis diatas kepala pasien (tegak lurus dengan kepala). Berikan tekanan (kompresi) pada kepala dalam berbagai posisi (fleksi, ekstensi, lateral fleksi dextra dan lateral fleksi sinistra).
Hasil :
Positif jika terdapat nyeri pada daerah leher hingga lengan akibat terjepitnya saraf Brachialis.
Dapat diberikan pada kasus Cervikal Root Syndrome.
B.Tes Distraksi
Posisi pasien : Sitting
Posisi terapis : Dibelakang pasien
Cara :
Salah satu tangan terapis berada didagu dan tangan yang lain dibelakang kepala kemudian angkat kepala pasien (distraksi).
Hasil :
Positif jika nyeri menghilang.
Dapat diberikan pada kasus Cervikal Root Syndrome.
C.Tes Finkelstein
Posisi pasien : Sitting or standing
Posis terapis : Didepan pasien
Cara :
Pasien mengepalkan tangannya, diaman ibu jari diliputi atau digenggam oleh jari-jari selanjutnya pasien atau terapis menggerakan kearah ulnar deviasi.
Hasil :
Positif bila terdapat nyeri didaerah radial wrist.
Dapat diberikan pada kasus De Quervain Syndrome.

D.Tes Phallen
Posisi pasien : Sitting or standing
Posisi terapis : Didepan pasien
Cara :
Fleksi palmar yang ditahan salah satu tangan selama 30 detik.
Hasil :
Positif jika pasien mengalami kesemutan didaerah karpal.
Dapat diberikan pada kasus Carpat Tunnel Syndrome.
E.Tes Tinnel
Posisi pasien : Sitting or standing
Posisi terapis : didepan pasien
Cara :
Perkusi atau penekanan n. medianus pada pergelangan tangan (posisi tangan sedikit dorsi fleksi) di daerah ligamentum tranversum dapat menimbulkan rasa nyeri atau kesemutan pada jari-jari yang dilalui oleh n. medianus.
Hasil :
Positif jika nyeri pada daerah yang dilalui n. medianus.
Dapat diberikan pada kasus Carpat Tunnel Syndrome.
F.Torniquet test
Posis pasien : Supine lying
Posisi terapis : Disamping pasien
Cara :
Menggunakan tensimeter cuff dipasang pada lengan atas diatas tekanan sistolik selama 1-2 menit, biasanya dipasang pada tekanan 220 mmHg. Pada tes ini akan terjadi peningkatan rasa nyeri dan semutan pada daerah distribusi n. medianus, karena bagian yang terjepit pada n. medianus di daerah carpal tunnel lebih sensitif terhadap ischemia dari pada saraf yang normal.
Hasil :
Positif bila terdapat rasa nyeri dan kesemutan didaerah n. medianus.
G.Luthy's sign (bottle's sign)
Posisi pasien : Sitting or standing
Posis terapis : didepan pasien
Cara :
Pasien diminta melingkarkan ibu jari dan jari telunjuknya pada botol atau gelas. Hasil : Positif bila kulit tangan penderita tidak dapat menyentuh dindingnya dengan rapat.
Dapat diberikan pada kasus Carpat Tunnel Syndrome.
H.Adson Tes
Posisi pasien : Sitting or standing
Posisi terapis : Didepan menyamping pasien
Cara :
Pasien menarik dagunya dan menengok sejauh mungkin ke satu arah dan meminta pasien menarik nafas sedalam mungkin dan terapis menekan arteri radialis.
Hasil :
Positif bila nteri pada arteri radialis.
I.Tes Eden
Posisi pasien : Standing
Posis terapis : Disamping pasien
Cara :
Berikan penekanan pada arteri radialis, kemudian traksi pada lengan atau pasien menjatuhkan badannya (badan pasien miring).
Hasil :
Positif jika pasien mersakan nyeri dan kesemutan pada arteri radialis.
J.Laseigue’s Test
Posis pasien : Supine lying, hip adduksi dan endorotasi, knee ekstensi
Posisi terapis : Disamping pasien
Cara :
Terapis mengangkat tungkai pasien (350 – 750), bila pasien mengeluh nyeri pada pantat atau paha belakang.
Hasil :
Positif bila terdapat nyeri. Nyeri pertama terasa di pantat berarti terdapat penekanan syaraf yang sifatnya central.
K.Bragard’s Test
Posisi pasien : Supine lying, hip adduksi dan endorotasi, knee lurus
Posisi terapis : Disamping pasien
Cara :
Terapis mengangkat tungkai pasien (250 – 650), disertai dorsi fleksi ankle.
Hasil :
Positif bila terdapat nyeri. Nyeri pertama terasa di pantat berarti terdapat penekanan syaraf yang sifatnya central.
L.Neri Test
Posis pasien: Supine lying, hip adduksi dan endorotasi, knee lurus
Posisi terapis : Disamping pasien
Cara :
Terapis mengangkat tungkai pasien (250 – 650),lalu gerakan dorsi fleksi ankle disertai dengan mengangkat kepalanya (fleksi neck).
Hasil :
Positif bila terdapat nyeri. Nyeri pertama terasa di pantat berarti terdapat penekanan syaraf yang sifatnya central.
M.Slump Test
Posisi pasien : Sitting
Posisi terapis : Disamping pasien
Cara :
Terapis mempertahankan kepala pasien pada posisi netral, pasien diminta mengendorkan punggungnya (fleksi lumbal), kemudian beri tekanan (kompresi) pada bahu kanan kiri untuk memepertahankan posis fleksi limbal, selanjutnya pasien diminta menggerakan fleksi leher dan kepala sejauh mungkin, (kemudian terapis mempertahankan posisi maksimal fleksi vertebra tersebut dengan memberi tekanan pada kepala bagian belakang, terapis menahan kaki pasien pada maksimal dorsi fleksi, pasien diminta meluruskan (ekstensi) lututnya, jika pasien tidak mampu meluruskan lututnya (karena nyeri), tekanan pada kepala dipindah ke bahu kanan kiri.
Hasil :
Bila saat tekanan pada kepala dipindah ke bahu pasien, mampu menambah gerakan ekstensi lutut atau nyeri berkurang, berarti tes positif.
N.Sitting Root Test
Tes ini merupakan modifikasi dari slump test
Posisi pasien : Sitting dengan hip fleksi 900 , leher fleksi
Cara :
Aktif ekstensi lutut.
Hasil :
Bila nyeri terasa di pantat, paha belakang dan betis berarti terdapat penekanan syaraf Isciadikus.
O.Brudzinski-Kernig Test
Posisi pasien : Supine lying dengan kedua tangan di belakang kepala
Posisi terapis : Disamping pasien
Cara :
Aktif fleksi neck diikuti dengan fleksi hip (dengan knee lurus) kemudian fleksi knee.
Hasil :
Bila saat hip di fleksikan (denagn lutut lurus) nyeri terasa kemudian saat lutut difleksikan nyeri hilang berarti tes positif
P.Prone Knee Bending (PKB/Nachlas) Test
Posisi pasien : Prone lying
Posisi terapis : Disamping pasien
Cara :
Terapis memfleksikan lutut pasien sejauh mungkin (jangan sampai terjadi gerak rotasi hip) dan menahannya ada posisi maksimal fleksi sekitar 45-60 detik
Hasil :
Bila nyeri pada punngung bawah, pantat atau paha belakang berarti terjadi penekanan akar syaraf L2 atau L3.
Q.Naffziger’s Test
Posisi pasien : Standing
Posisi terapis : Dibelakang pasien
Cara :
Terapis menekan pada kedua vena jugularis dan menyuruh pasien mengejan atau batuk.
Hasil :
Bila saat batuk terasa nyeri pada punggung bawah berarti tes positif.
R.Tes Patrick
Posisi pasien : Supine lying
Posisi terapis : Disamping pasien
Cara :
Tempatkan maleolus lateralis tungkai yang terkena pada lutut yang sehat dan terapis memberikan penekanan pada knee yang difleksikan.
Hasil :
Positif bila terdapat nyeri pada daerah panggul.
S.Tes Contra Patric
Posis pasien : Supine lying
Posisi terapis : disamping pasien
Cara :
Fleksi dan endorotasikan tungkai yang sakit serta gerakan adduksi kemudian terapis member penekanan sejenak pada knee.
Hasil :
Positif bila pasien nyeri didaerah garis sendi sakroiliaka.
T.Tes Gaenslen
Posisi pasien : Supine lying dengan kedua knee fleksi
Posisi terapis : Disamping pasien
Cara :
Pasien supine lying dengan kedua knee fleksi. Kemudian pasien diminta menggantungkan tungkai yang berada ditepi bed.
Hasil :
Positif bila nyeri terasa disendi sakroiliaka ipsilateral pada saat tungkai itu dilepaskan untuk bergantung di tepi bed.

DAFTAR PUSAKA
Sidharta, Priguna dan Mahar Mardjono. 2008. NEUROLOGI KLINIS DASAR. Jakarta: Dian Rakyat.
Bates, Barbara. 1995. PEMERIKSAAN FISIK & RIWAYAT KESEHATAN. Jakarta. Penerbit Buku Kedokteran EGC.
De Wolf dan Mens. 1990. PEMERIKSAAN ALAT PENGGERAK TUBUH. Deurne-Antwerpen.A.N de Wolf.
Konin, Jeff G, dkk. 1997. SPECIAL TEST FOR ORTHOPEDIC EXAMINATION. GroveRoad: SLAC Incorporated.
http://www.perdossijaya.org/perdossijaya/index.php?option=com_content&view=article&id=76:neuropati-entrapmen-pada-ekstremitas-atas&catid=45:artikel&Itemid=63
http://www.fisiosby.com/index.php?option=com_content&task=view&id=9&Itemid=7
http://72.14.235.132/search?q=cache:fFDGdeifBXgJ:library.usu.ac.id/download/fk/penysaraf-aldi2.pdf+phalen+test&cd=6&hl=id&ct=clnk&gl=id
http://cetrione.blogspot.com/2008/05/entrapment-neuropati.html
http://www.angelfire.com/nc/neurosurgery/Atas.html

Selasa, 14 April 2009

Pemeriksaan Sendi dengan Goniometer

PEMERIKSAAN LINGKUP GERAK SENDI
By : Arief Hendrawan

Lingkup Gerak Sendi (LGS) atau Range of Motion adalah luas lingkup gerak sendi yang bisa dilakukan oleh suatu sendi. LGS dapat juga diartikan sebagai ruang gerak/batas-batas gerakan dari suatu kontraksi otot dalam melakukan gerakan, apakah otot tersebut dapat memendek atau memanjang secara penuh atau tidak. Terdiri dari inner range, middle range, outer range dan full range.
Dalam praktek fisioterapi, salah satu tehnik evaluasi yang paling sering digunakan untuk mengukur LGS adalah penggunaan goniometer.
a.Tujuan Pengukuran LGS :
1.Untuk mengetahui LGS pada satu sending dibandingkan dengan sendi yang lainnya (sendi sakit dibandingkan dengan sendi normal)
2.Membantu penegakan diagnose terapi
3.Untuk evaluasi keberhasilan terapi
4.Untuk dokumentasi
5.Dapat membantu meningkatkan motivasi klien
6.Dapat digunakan untuk penelitian
b.Hal yang harus diperhatikan :
1.Reliabilitas :menghilangkan faktor pakaian/sesuatu yang menghambat, mengurangi variasi posisi, pengukkuran dilakukan dalam jam yang sama
2.Umur :pada umur 20-30 th terjadi penurunan LGS kemudian stabil sampai umur 60 tahun dan setelah itu terjadi penurunan lagi (Bell & Hoskizah)
3. Seks : wanita cenderung lebih besar LGSnya dibanding pria
4. Struktur persendian
5. Sisi dominan: normal gerak sendi tidak ada perbedaan kanan dan kiri
6. Tipe gerakan : gerakan yang dilakukan apakah aktif atau pasif
7. Alat ukur : alat ukur yang digunakan adalah goniometer
8. Penentuan titik ukur yang akurat
c.Notasi dan Rekording
a.Sistem 0 – 180 (Silver, 1923), mendapat rekomendasi AAOS :
Posisi awal semua gerakan dianggap 0, kemudian bergerak sampai 180°
b.Sistem 180 – 0 (Clark, 1920) : Jarang digunakan
c.Sistem 360 (West, 1945) : hampir sama dgn system 180 – 0, hanya notasinya sampai 360 (jarang digunakan).
Contoh :

Shoulder Dextra L.G.S (dalam derajat)dengan menggunakan notasi
Fleksi 180
Ekstensi 45
Abduksi 180
Internal rotasi (abd. 90°)90
Eksternal rotasi (abd. 90°)90
Abduksi horizontal 45
Adduksi horisontal 135

Pencatatan LGS dengan metode SFTR (Sagital-Frontal-Transversal-Rotasional). Semua gerakan ditulis dengan 3 kelompok angka. Ekstensi dan semua gerakan menjauhi tubuh ditulis pertamafleksi dan gerakan yang mendekati tubuh ditulis terakhirPosisi awal ditulis ditengah. Lateral fleksi ke kiri ditulis pertama dan lateral fleksi ke kanan ditulis terakhir. Posisi awal ditulis di tengah. Semua gerakan diukur dari posisi awal netral (posisi anatomis)
Contoh recording dengan metode SFTR
LGS sendi bahu (dalam derajat)
S : 45-0-180
F : 180-0-0
T : 45-0-135
R (F=90) : 90-0-90

Selasa, 07 April 2009

Physiotherapy

Bagaimana kita mau diakui sebagai tenaga kesehatan yang profesional jika kita sendiri (fisioterapis) tidak mau untuk berubah ? Pertanyaan ini pernah dilontarkan teman saya seorang dokter senior yang peduli terhadap profesi kita, ketika saya berbincang-bincang mengenai profesionalisme seorang tenaga kesehatan. Memang untuk bersikap profesional banyak faktor pendukung dan penghambatnya. Tetapi ada sedikit gagasan yang bisa saya lontarkan ke teman-teman, salah satunya adalah kepedulian kita sendiri tentang yang namanya Asuhan Fisioterapi. Sudahkan kita melaksanakannya ? Dalam pelaksanaan tugas kita sebagai seorang fisioterapi, asuhan fisiterapi harus dapat kita laksanakan dengan sebaik-baiknya. Artinya bahwa kita melakukan terapi kepada klien harus dapat dipertanggungjawabkan, profesional dan meminimalis faktor human error. Jangan kita jadikan klien kita sebagai model saja. mari kita jadikan asuhan fisioterapi sebagai way of life. Bravo Fisioterapi Indonesia

Pemeriksaan Fisioterapi

PETUNJUK PRAKTIKUM

MATA KULIAH : PEMERIKSAAN FISIOTERAPI I
BOBOT : 2 SKS
POKOK BAHASAN : PEMERIKSAAN FISIOTERAPI
SUB POKOK BAHASAN : ANAMNESA (WAWANCARA)
PERTEMUAN KE... : I (SATU)

A. TUJUAN INSTRUKSIONAL
1. Tujuan Instruksional Umum
Setelah mengikuti Mata Kuliah ini diharapkan mahasiswa mampu melakukan penegakan Asuhan Fisioterapi.
2. Tujuan Instruksional Khusus
Setelah mengikuti kegiatan praktikum ini diharapkan mahasiswa mampu melakukan tindakan anamnesa.

B. ALAT DAN BAHAN
1. Alat tulis
2. Probandus

C. PROSEDUR PELAKSANAAN
1. Perkenalan diri terapis
2. Penjelasan tujuan anamnesa (wawancara)
3. Penggalian informasi tentang :
a. Jenis Anamnesa
b. Identitas Pasien
c. Keluhan Pasien
d. Waktu dan Lama Timbulnya Keluhan
e. Lokasi Keluhan
f. Riwayat Penyakit Dahulu
g. Riwayat Keluarga
4. Membuat kesimpulan sementara hasil anamnesa

D. PELAKSANAAN PRAKTEK
1. Praktek dilakukan dengan cara demonstrasi/simulasi. Mahasiswa bertugas sebagai probandus secara bergantian. Mahasiswa melakukan anamnesa sesuai dengan kasus yang telah ditentukan.
2. Setelah menyelesaikan anamnesa, mahasiswa mahasiswa mendokumentasikan hasil praktikumnya pada buku kerja praktikum dan melaporkan pada pembimbing yang bersangkutan.

E. DAFTAR PUSTAKA
Pusat Pendidikan Tenaga Kesehatan Depkes RI, Dokumentasi Presiapan Praktek Profesional Fisioterapi, Jakarta, 1994
PETUNJUK PRAKTIKUM

MATA KULIAH : PEMERIKSAAN FISIOTERAPI I
BOBOT : 2 SKS
POKOK BAHASAN : PEMERIKSAAN FISIK
SUB POKOK BAHASAN : PEMERIKSAAN VITAL SIGN, IPPA
PERTEMUAN KE... : II (DUA)

A. TUJUAN INSTRUKSIONAL
1. Tujuan Instruksional Umum
Setelah mengikuti Mata Kuliah ini diharapkan mahasiswa mampu melakukan penegakan Asuhan Fisioterapi.
2. Tujuan Instruksional Khusus
a. Setelah mengikuti praktikum mata kuliah ini diharapkan mahasiswa mampu melakukan pemeriksaan vital sign
b. Setelah mengikuti praktikum mata kuliah ini diharapkan mahasiswa mampu melakukan IPPA (Inspeksi, Palpasi, Perkusi dan Auskultasi)

B. ALAT DAN BAHAN
1. Alat tulis lengkap
2. Sphignomamometer
3. Stetoscope
4. Probandus
5. Hammer Reflex

C. PROSEDUR PELAKSANAAN PRAKTIKUM
1. Praktikan menjelaskan tujuan pemeriksaan fisik.
2. Pemeriksaan fisik dibedakan menjadi dua yaitu :
a. Pemeriksaan Vital Sign
1) Pengertian
Vital Sign merupakan parameter pada tubuh yang terdiri dari pemeriksaan tekanan darah, denyut nadi, pernafasan dan suhu tubuh. Vital sign merupakan langkah awal untuk menentukan tindakan selanjutnya
2) Pemeriksaan Tekanan Darah
a) Alat Ukur : alat ukur yang digunakan sphignomamometer yang terdiri dari kantong yang terbungkus dalam manset (yang dapat mengembang), pompa karet berbentuk bulat, mamometer dimana tekanan darah mudah dibaca, lubang sekrup untuk mengempiskan udara.
b) Sphignomamometer terdiri dari dua jenis yaitu sphignomamometer air raksa dan sphignomamometer aneroid (jarum).
c) Prosedur Pelaksanaan Pengukuran Tekanan Darah
(1) Pengukuran tekanan darah dapat dilakukan di arteri mana saja yang dapat dilingkari manset di bagian proximal dan dapat diraba pada bagian distal.
(2) Arteri Brachialis sering dipakai sebagai tempat pengukuran tekanan darah karena letaknya yang mudah dicapai/superficial.
(3) Posisi pasien :
(a) dapat duduk atau berbaring
(b) lengan diatur sedemikian rupa sehingga arteri brachialis setinggi jantung
(c) lengan dalam posisi abduksi 30 – 40 derajat dan eksternal rotasi dan sedikit fleksi siku.
d) Cara Kerja
(1) lilitkan manset yang sudah kempis dengan ketat pada lengan atas sehingga batas bawah manset tersebut kira-kira 1 inchi di atas fossa ante cubitii
(2) mula-mula denyut nadi diukur dengan palpasi agar kesalahan auskultasi masih dapat dideteksi dan rabalah arteri radialis
(3) pompa manset sampai arteri tidak teraba lagi
(4) stetoskop diletakkan diatas arteri dengan perlahan-lahan. Setelah itu ada dua keadaan dimana tidak terdengar adanya bunyi aliran darah didalam pembuluh darah lancar atau berhenti
(5) bila manset dikempiskan perlahan-lahan terdengar vibrasi bunyi pada koroktoff, bunyi koroktoff ada dua fase yaitu : Fase I dimulai saat tekanan sistole hanya cukup untuk membuka tekanan darah sementara saja, dan akan terdengar bunyi nyaring yang makin lama meningkat intensitasnya. Jika makin lama tekanan manset dikurangi/diturunkan aliran pembuluh darah meningkat dinamakan Fase II dan seterusnya makin lama makin jelas suaranya/ketukannya. Selanjutnya suara ketukan makin lama makin tak terdengar dan dinamakan tekanan diastolik.
(6) Kemudian dicatat dari mulai ketukan pertama nyaring misalnya 120 sistole dan bunyi ketukan yang lemah dan makin lama makin menghilang misalnya 90 diastolik.
3) Pemeriksaan Denyut Nadi
a) Alat Ukur : palpasi tangan
b) Prosedur : sebagian orang mengukur denyut nadi dengan dua jari atau tiga jari. Perhatikan tekanan, irama, kecepatan dan kontour dari denyut nadi. Hitunglah denyut nadi dalam semenit penuh, biasanya kita menghitung selama 15 detik kemudian hasilnya dikali 4. manfaat pemeriksaan denyut nadi akan lebih bermakna jika dilakukan pada lebih dari satu arteri. Misalnya pada arteri carotis dan arteri brachialis.
c) Satuan Ukur : kali (X)/menit. Normal 80 – 100 x/mnt
4) Pemeriksaan Suhu
a) Alat Ukur : Termometer
b) Satuan Ukur : Celcius atau Fahrenheit
c) Prosedur :
Ada dua macam cara pengukuran, yaitu :
(1) Suhu oral : mudah diukur tetapi kadang-kadang mudah keliru. Letakkan termometer di bawah lidah sejajar dengangusi bawah selama 3 menit. Suhu oral normal adalah 36,8 C + 0,3 C atau 98,5 F + 0,5 F. Peningkatan suhu tubuh dapat terjadi setelah
5) Pemeriksaan Pernafasan
a) Alat Ukur : Observasi. Dalam pemeriksaan pernafasan, selain yang diamati jumlah pernafasan permenit perlu juga diperhatikan volume udara, usaha bernafas, pola pernafasan, keikutsertaan otot-otot pernafasan.
b) Satuan : X/mnt (kali per menit). Nilai normalnya 20 – 24 kali per menit
b. IPPA (Inspeksi, Palpasi, Perkusi dan Auskultasi)
1) Inspeksi : adalah pemeriksaan dengan cara melihat dan mengamati.
a) Macam Inspeksi : Statis yaitu melakukan inspeksi dimana penderita dalam keadaan diam. Dinamis yaitu melakukan inspeksi dimana penderita dalam keadaan bergerak, misalnya waktu penderita berjalan.
b) Prinsip melakukan inspeksi : Suasana tenang, kekeluargaan; penerangan/cahaya cukup; sopan ; regio pengamatan jelas, terencana (lokal, regional atau total) ; inspeksi dimulai sejak penderita masuk dalam ruangan.
c) Hal-hal yang diamati : keadaan umum, sikap, adanya deformitas, langkah (gait), ekspresi wajah, warna kulit, dll.
2) Palpasi : pemeriksaan dengan jalan meraba, menekan dan memegang organ/bagian tubuh pasien/klien untuk mengetahui adanya ketegangan otot, nyeri tekan, suhu, tumor/odema, kontur organ dan lain-lain.
Prinsip palpasi :
a) Posisi penderita relaks, sehingga memudahkan pelaksanaan pemeriksaan.
b) Meminta ijin kepada pasien/keluarga penderita
c) Bandingkan antara organ yang sakit dan sehat
d) Memperhatikan prinsip-prinsip kesopanan
e) Menjelaskan tujuan palpasi kepada penderita
3) Perkusi : pemeriksaan dengan jalan mengetuk/vibrasi.
Prinsip perkusi :
a) Posisi penderita rileks sehingga memudahkan pelaksanaan pemeriksaan
b) Memperhatikan kesopanan
c) Membandingkan antara organ yang sehat dan sakit
d) Menjelaskan tujuan perkusi
4) Auskultasi : pemeriksaan dengan menggunakan indera pendengaran. Biasanya menggunakan alat bantu stetoskop. Digunakan untuk mengetahui/mendengarkan bunyi paru, bunyi jantung, sistole dan diastole, dll. Prinsip auskultasi :
a) Posisi penderita rileks, sehingga memudahkan melakukan pemeriksaan
b) Memperhatikan prinsip kesopanan
c) Menjelaskan tujuan auskultasi

D. PELAKSANAAN PRAKTIKUM
Praktikkum dilaksanakan dengan metode simulasi. Mahasiswa secara bergantian berperan sebagai pasien dan terapis.

E. DAFTAR PUSTAKA
Pusat Pendidikan Tenaga Kesehatan Depkes RI, Dokumentasi Presiapan Praktek Profesional Fisioterapi, Jakarta, 1994

WELCOME TO MY WORLD

SELAMAT DATANG DI WEB-BLOG-QU

about me

Siapa saya...?hanya Allah yang tau but sedikit crita nich. I'm a physiotherpist.sekarang critanya baru ngajar di Cilacap City